Ustadz Muhammad Umar as-Sewed & Muh. Sholehuddin
Di
antara syubhat yang dilontarkan oleh para mudzabdzabin(1) adalah ucapan
mereka: “Kita tidak boleh melupakan jasa-jasa dan kebaikan ahlul
bid’ah”, “Keti-ka kita mengkritik ahlul bid’ah, kita harus pula
menyebutkan kebaikan mereka”, atau “Bagaimana pun mereka juga mempunyai
kebaikan” dan kalimat-kalimat lain yang semakna. Sebaliknya para ulama
yang tidak menyebutkan kebaikan ahlul bid’ah dituduh zalim dan tidak
adil.
Mereka berupaya untuk meruntuhkan kaidah jarh (kritikan
dan celaan) para ulama terhadap ahlul bid’ah, dengan menganggap bahawa
perselisihan yang terjadi di kalangan kelompok-kelompok sempalan ahlul
bid’ah adalah permasalahan keaneka-ragaman yang saling melengkapi,
bukan pertentangan. Kemudian mereka memberikan syarat bagi siapa saja
yang hendak mengkritik ahlul bid’ah dan menerangkan kesesatan yang ada
padanya untuk menyebutkan pula kebaikan-kebaikannya. Barangsiapa yang
tidak melakukannya bererti dia tergolong sebagai orang yang zalim dan
berlebihan alias keterlaluan --menurut anggapan batil mereka--.
Mereka
mencari-cari dalil untuk mendukung kebid’ahan mereka dengan ucapan yang
samar, berbias atau mutasyabihat agar dapat dijadikan sebagai fitnah
dan dicari-cari ta’wilnya. Upaya
mereka itu bertujuan untuk menghilangkan sekat pemisah antara ah-lus
sunnah dan ahlul bid’ah, untuk kemu-dian menggabungkan mereka dalam satu
parti atau kelompok besar(hizbiyyah) yang hanya mementingkan kuantiti
dan tidak mementingkan kualiti.
Sungguh suatu upaya yang mustahil
menggabungkan dua kelompok yang ber-lawanan. Yang satu mengatakan
“Ikutilah sunnah jauhilah bid’ah”, sedangkan yang lain mengatakan:
“Kerjakanlah kebid’ahan dan tinggalkanlah sunnah”.
Jangan
dianggap kecil ucapan-ucap-an mereka! Dengan syubhat mereka ini akan
gugur prinsip-prinsip ahlus sunnah seperti: amar ma’ruf nahi mungkar,
kai-dah jarh wa ta’dil dalam ilmu hadits dan akan menjatuhkan para ulama
ahlul ha-dits dengan tuduhan dzalim. Yang pada akhirnya akan
menumbuh-suburkan kebid’ahan dan mematikan sunnah.
Mereka
menganggap bahwa menyebutkan kebaikan ahlul bid’ah ketika mengkritiknya
adalah “keadilan” (inshaf). Guna mendukung kebid’ahan mereka ini,
mereka bawakan ayat dan hadith tentang kewajiban berbuat adil. Di antara
ayat yang sering mereka dengungkan adalah firman Allah:
يَاأَيُّهَا
الَّذِينَ ءَامَنُوا كُونُوا قَوَّامِينَ لِلَّهِ شُهَدَاءَ بِالْقِسْطِ
وَلاَ يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَآنُ قَوْمٍ عَلَى أَلاَّ تَعْدِلُوا اعْدِلُوا
هُوَ أَقْرَبُ لِلتَّقْوَى وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا
تَعْمَلُونَ. المائدة: 8
Hai orang-orang yang
beriman hendak-lah kalian menjadi orang-orang yang selalu menegakkan
(kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah
sekali-kali kebencian kalian terhadap sesuatu kaum, mendorong kalian
untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, kerana adil itu lebih dekat
pada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha
Mengetahui apa yang kalian kerjakan. (al-Maidah: 8)
Dengan ayat
ini mereka berpendapat bahwa kita harus berbuat adil sekalipun terhadap
musuh-musuh kita yaitu de-ngan menyebutkan kebaikan-kebaikan mereka,
jangan hanya menyebutkan keje-lekannya saja.
Sungguh ini adalah
pemahaman yang sangat batil akan makna keadilan. Karena sesungguhnya
makna keadilan menurut para ulama salaf sejak shahabat sampai hari ini
adalah menghukumi sese-orang dengan hak dan kebenaran atau menempatkan
sesuatu pada tempatnya.
Maka jika seorang ulama mengkritik atau
menjarh seseorang yang sesat (ahlul bid’ah) yang memang sepantasnya
untuk di jarh dengan bukti-bukti yang benar dan dalil yang jelas.
Kemudian memperingatkan manusia dari bahaya kesesatannya maka itu adalah
keadilan dan bukan kezaliman. Kecuali jika ia menuduh dengan
bukti-bukti yang dusta dan saksi-saksi palsu atau menjarh orang yang
tidak layak untuk di-jarh dari kalangan ulama ahlus sunnah yang jujur
dan terpercaya (tsiqah), maka itulah yang dinamakan kezaliman. Sama
sekali tidak berkaitan dengan masalah penyebutan kebaikannya atau pun
tidak.
Di samping itu, menyebutkan kebaikan ketika kita
memperingatkan manu-sia dari penyimpangan seseorang sungguh sangat
bertentangan dengan hikmah dan tujuan peringatan itu sendiri. Apa-kah
pantas kita katakan: “Hati-hati dari orang khawarij ini, tetapi dia
memiliki kebaikan-kebaikan”?, “Hati-hatilah dari kesesatan orang syi’ah
ini, namun dia adalah orang yang baik, ahli ibadah, dermawan dan
lain-lain”?!.
Mereka juga memakai dalil-dalil yang dipaksakan, di
antaranya ucapan Rasulullah shalallahu 'alaihi wa sallam kepada Abu
Hurairah ketika beliau menerangkan siapa orang yang mencuri harta baitul
maal dan mengajar-kan ayat kursi:
أَمَا إِنَّهُ صَدَقَكَ وَهُوَ كَذُوْبٌ. (رواه البخاري
Ketahuilah sesungguhnya dia telah ber-kata benar kepadamu padahal dia pendusta. (HR. Bukhari)
Ucapan
ini dianggap oleh para mudzabdzabin tadi sebagai dalil harusnya
menyebutkan kebaikan walaupun itu adalah setan sang pendusta.
Untuk menjawab syubhat tentang hadith Abu Hurairah tersebut, maka kita bantah dari beberapa sisi:
Pertama:
Di dalam hadith dijelas-kan bahwa tatkala Abu Hurairah meng-kabarkan
kepada Rasulullah shalallahu 'alaihi wa sallam tentang kisah di atas,
maka Rasulullah shalallahu 'alaihi wa sallam memberitakan kepadanya
dengan mengatakan:
أَمَا إِنَّهُ كَذَبَكَ وَسَيَعُوْدُ
“Ketahuilah bahwa sesungguhnya dia telah berdusta kepadamu dan dia akan kembali (mengulangi perbuatannya)”.
Maka
syaitan pun kembali melakukan pencurian, dan Abu Hurairah kembali
menangkapnya. Kemudian beliau mengkabarkannya kepada Rasulullah
shalallahu 'alaihi wa sallam tentang hal itu, maka Rasulullah shalallahu
'alaihi wa sallam pun bersabda untuk kedua kalinya:
“Ketahuilah bahawa
dia telah berdusta kepadamu dan dia akan kembali (mengulangi
perbuatannya)”. (HR. Bukhari)
Dari kejadian ini dapat kita lihat
bahawa Rasulullah shalallahu 'alaihi wa sallam tidak melakukan apa yang
diistilahkan oleh mereka --para ahlul bid’ah-- dengan muwazanah
(keseimbangan) antara penyebutan kejelekan syaitan dan
kebaikan-kebaikannya pada dua peringatan pertama beliau. Dan beliau juga
tidak memerintahkan kepada Abu Hurairah atau yang lainnya dari kalangan
sahabat untuk melakukan hal itu walaupun sedikit, demi memberikan
pendidikan muwazanah (balance).
Kedua: Ucapan
beliau shalallahu 'alaihi wa sallam pada keja-dian ketiga: “Ketahuilah,
sesungguhnya dia telah berkata benar namun dia adalah seorang
pendusta”, tidak menunjukkan adanya sedikitpun sikap muwazanah antara
kebaikan dan kejelekan amalan syaitan.
Sesungguhnya yang ada hanyalah menerima kebenaran dan kejujuran dari siapa saja.
Menyatakan
yang hak adalah hak dan yang batil adalah batil, dari siapa pun
sumbernya. Apakah dia seorang Ya-hudi, Nashrani, penyembah berhala,
sosi-alis, atau setan yang pendusta lagi terkutuk sekalipun.
Di
sini menunjukkan pemuliaan ter-hadap kebenaran dan kejujuran serta
pe-nerimaannya, walaupun datang dari jalan sumber yang jelek. Terlebih
lagi apabila kita tidak mendapatkan jalan menuju ke-benaran tersebut,
kecuali dari jalannya.
Ini jauh berbeda dengan apa yang dilakukan
oleh orang-orang kafir, ahlul bid’ah, penentang kebenaran, kaum
hizbiyyin harakiyyin (dan para mudzab-dzabin sendiri, pent), dimana
mereka adalah orang-orang yang menolak kebe-naran dan kejujuran,
walaupun datang-nya dari orang-orang yang jujur lagi adil. Bahkan
walaupun datangnya dari para nabi dan rasul, sekalipun sebagaimana yang
terjadi pada orang-orang kafir. (Li-hat Manhaj Ahlus Sunnah wal Jama’ah
fi Naqdir Rijal, DR. Rabi’ bin Hadi al Madkhali hal. 70-71)
Alasan
lainnya adalah apa yang me-reka nukilkan dari para ulama ahlus sun-nah
ketika menuliskan biografi para tokoh-tokoh ahlul bid’ah. Mereka
menu-liskannya secara lengkap: ilmunya, jasa-jasanya, dan sekaligus
penyimpangan dan kesesatannya.
Mereka anggap sikap para ulama ini
adalah mendukung prinsip muwazanah (keseimbangan) mereka. Di antara
yang paling banyak mereka nukil adalah ucap-an imam adz-Dzahabi dalam
as-Siyar.
Kita bantah alasan mereka ini dengan beberapa kalimat:
Pertama,
kita katakan sungguh sangat berbeda antara seorang ulama yang menulis
biografi seseorang dan seorang ulama yang sedang memperingatkan umat
dari bahaya penyimpangan sese-orang. Entah apakah mereka tidak me-ngerti
atau berpura-pura tidak mengerti.
Sebagai contoh lihat apa yang
dila-kukan oleh imam ad-Dzahabi sendiri sebagaimana yang ternukil dalam
kitab beliau “as-Siyar” yang berisi biografi dan kitab beliau
“al-Kaasyif” yang merupa-kan kritikan. Kita dapati di dalam as-Siyar,
beliau menyebutkan kebaikan dan kejelekan orang yang diterangkan
biogra-finya secara lengkap, karena memang sedang membahasan biografi.
Lain hal-nya yang terdapat dalam kitab beliau al-Kaasyif, beliau tidak
menyebutkan se-orang perawi melainkan kritikan (jarh).
Oleh
karena itulah berkata Rafi’ bin Asyras rahimahullah: “Adalah dikatakan
termasuk dari hukuman bagi pendusta ialah untuk tidak diterima
kejujurannya. Dan aku katakan: “Termasuk dari balas-an bagi orang yang
fasik dan ahlu bid’ah ialah untuk tidak disebutkan
kebaikan-kebaikannya”. (Lihat Syarah ‘Ilal at Tirmidzi, Ibnu Rajab 1/353
dan Irsyadul Bariyyah, Hasan bin Qasim hal.198-201)
Kedua,
betapa banyak ayat-ayat dalam al-Qur’an dan hadits-hadits shahih yang
menceritakan tentang kejelekan Yahudi, Nashrani, kaum musyrikin,
mu-nafiqin dan orang-orang sesat dengan tanpa menyebutkan
kebaikan-kebaikan mereka. Apakah mereka menganggap semua itu sebagai
kedzaliman?!
Ketiga, para ulama tidak ada yang mewajibkan untuk menyebutkan kebaik-an ketika mengkritik seseorang.
Berkata
Syaikh Abdul Aziz bin Ab-dullah bin Baaz ketika ditanya apakah perlu
menyebutkan kebaikan ahlul bid-’ah: “Tidak! tidak mesti menyebutkan
kebaikan mereka. Jika engkau membaca buku-buku ahlus sunnah, engkau akan
dapati yang demikian, karena tujuan me-reka adalah memperingatkan…”
(Lihat al-Mahajatul Baidla’, Syaikh Rabi’ bin Hadi al-Madkhali, hal. 7)
Syaikh
Abdul Muhsin al-Abbad keti-ka ditanya dengan pertanyaan yang sa-ma,
beliau menjawab: “Tidak perlu eng-kau mengumpulkan kebaikan dan
me-nyebutkannya”. (Lihat al-Mahajatul Baidla’, Syaikh Rabi’ bin Hadi
al-Madkhali, hal. 19)
Demikian pula Syaikh al-Albani keti-ka
ditanya dengan pertanyaan yang sa-ma, beliau berkata: “Itu merupakan
prinsip bid’ah, apakah ketika seorang ulama hadits berbicara tentang
orang yang shalih atau alim dan faqih bahwa dia lemah hafalannya, apakah
mesti dia mengatakan setelah itu: dia adalah orang shalih, faqih,
menjadi rujukan dalam mengambil hukum-hukum fiqih … dan seterusnya?!
Allahu Akbar”. (Lihat al-Mahajatul Baidla’, Syaikh Rabi’ bin Hadi
al-Madkhali, hal. 19).
Wallahu a'lam.