BAHAYA MEMPERSENDA AGAMA
Diantara sifat orang beriman adalah mengagungkan Allah dan mengagungkan apa-apa yang diagungkan oleh Allah. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
وَمَن يُعَظِّمْ شَعَائِرَ اللهِ فَإِنَّهَا مِن تَقْوَى الْقُلُوبِ
Demikianlah (perintah Allah). Dan barangsiapa mengagungkan syi'ar-syi'ar Allah, maka sesungguhnya itu timbul dari ketaqwaan hati. [Al Hajj:32]
Namun di zaman ini, banyak orang meremehkan, merendahkan, dan memperolok-olok sesuatu yang berkaitan dengan agama. Hal ini merupakan perkara yang sangat berbahaya. Maka semestinya seseorang mengetahui bahaya istihza’ terhadap agama.
Istihza’, ertinya: mengejek, memperolok-olok, atau mencemuh. Istihza’ terhadap Allah, ayat-ayatNya, RasulNya, agamaNya, dan istihza’ kepada orang-orang yang beriman, merupakan perilaku orang kafir, dan termasuk perkara yang menyebabkan murtad jika dilakukan oleh orang Islam.
ISTIZHA’ TERHADAP ALLAH
Diantara sifat orang beriman adalah mengagungkan Allah dan mengagungkan apa-apa yang diagungkan oleh Allah. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
وَمَن يُعَظِّمْ شَعَائِرَ اللهِ فَإِنَّهَا مِن تَقْوَى الْقُلُوبِ
Demikianlah (perintah Allah). Dan barangsiapa mengagungkan syi'ar-syi'ar Allah, maka sesungguhnya itu timbul dari ketaqwaan hati. [Al Hajj:32]
Namun di zaman ini, banyak orang meremehkan, merendahkan, dan memperolok-olok sesuatu yang berkaitan dengan agama. Hal ini merupakan perkara yang sangat berbahaya. Maka semestinya seseorang mengetahui bahaya istihza’ terhadap agama.
Istihza’, ertinya: mengejek, memperolok-olok, atau mencemuh. Istihza’ terhadap Allah, ayat-ayatNya, RasulNya, agamaNya, dan istihza’ kepada orang-orang yang beriman, merupakan perilaku orang kafir, dan termasuk perkara yang menyebabkan murtad jika dilakukan oleh orang Islam.
ISTIZHA’ TERHADAP ALLAH
Allah berfirman.
وَلَئِن سَأَلْتَهُمْ لَيَقُولُنَّ إِنَّمَا كُنّا نَخُوضُ وَنَلْعَبُ قُلْ أَبِاللهِ وَءَايَاتِهِ وَرَسُولِهِ كُنتُمْ تَسْتَهْزِءُونَ
Dan jika kamu tanyakan kepada mereka (tentang apa yang mereka lakukan itu), tentu mereka akan menjawab: "Sesungguhnya kami hanya bersenda gurau dan bermain-main saja". Katakanlah:"Apakah dengan Allah, ayat-ayatNya dan RasulNya kamu selalu berolok-olok?[At Taubah:65].
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah menyatakan, bahawa semata-mata istihza’ terhadap Allah merupakan kekafiran, istihza’ terhadap Rasul merupakan kekafiran, dan istihza’ terhadap ayat-ayat Allah juga merupakan kekafiran. Istihza’ terhadap perkara-perkara di atas saling berkaitan.[1]
Sebab turunnya ayat ini, Abdullah bin Umar Radhiyallahu 'anhu berkata: Pada suatu hari, di satu majlis dalam perang Tabuk, seorang laki-laki berkata “Aku tidak pernah melihat semisal para qari’ (ahli Al Qur’an atau ahli agama) kita ini, lebih rakus perutnya, lebih dusta lidahnya, dan lebih penakut di saat pertempuran”. Lalu seorang laki-laki di majlis itu berkata: “Engkau dusta, tetapi engkau seorang munafik. Aku benar-benar akan mengadu kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.” Dan Al Qur’an turun.
Abdullah bin Umar berkata: “Maka aku melihat laki-laki itu bergantung pada diatas unta Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, batu-batu melukai kakinya, dan dia mengatakan: “Wahai, Rasulullah. Sesungguhnya kami hanya bersenda gurau dan bermain-main saja”. Rasulullah, berkata: “Katakanlah: Apakah dengan Allah, ayat-ayatNya dan RasulNya kamu selalu berolok-olok?” [At Taubah:65] [2]
Istihza’ yang mereka lakukan di atas menyebabkan kemurtadan mereka, sebagaimana pada ayat berikutnya:
لاَ تَعْتَذِرُوا قَدْ كَفَرْتُم بَعْدَ إِيمَانِكُمْ
Tidak usah kamu minta maaf, kerana kamu telah kafir sesudah keimanan kamu. [At Taubah:66].
Sebhaagian orang berpendapat, mereka itu semenjak awalnya adalah orang-orang munafik. Namun pendapat ini tidak kuat.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata: “Pendapat orang yang mengatakan tentang semisal ayat-ayat ini bahwa mereka telah kafir sesudah keimanan mereka dengan lidah mereka, sedangkan hati mereka kafir semenjak awal; pendapat ini tidak benar. Kerana iman dengan lidah bersamaan dengan kekafiran hati, bererti kekafiran selalu menyertainya, sehingga tidak dikatakan: “kamu telah kafir sesudah keimanan kamu”, kerana hakikatnya mereka terus sebagai orang kafir. Dan jika dimaksudkan “bahwa kamu menampakkan kekafiran setelah kamu menampakkan keimanan”, maka mereka itu tidaklah menampakkan kekafiran kepada semua manusia, kecuali kepada orang-orang dekat mereka. Mereka bersama orang-orang dekat mereka selalu begitu. Bahkan (yang benar), ketika mereka berbuat nifak dan takut akan diturunkan terhadap mereka surat yang menerangkan kemunafikan yang tersembunyi di dalam hati mereka, mereka(pun) berbicara dengan istihza’. Mereka menjadi orang-orang kafir setelah keimanan mereka. Lafaz itu tidak menunjukkan bahwa mereka munafik semenjak dahulu”.[3]
ISTIZHA’ TERHADAP AYAT
Ini merupakan perbuatan orang kafir yang akan mendapatkan siksa yang pedih! Allah berfirman:
وَيْلٌ لِّكُلِّ أَفَّاكٍ أَثِيمٍ يَسْمَعُ ءَايَاتِ اللهِ تُتٍلَى عَلَيْهِ ثُمَّ يُصِرُّ مُسْتَكْبِرًا كَأَن لَّمْ يَسْمَعْهَا فَبِشِّرْهُ بِعَذَابٍ أَلِيمٍ وَإِذَا عَلِمَ مِنْ ءَايَاتِنَا شَيْئًا اتَّخَذَهَا هُزُوًا أُوْلَئِكَ لَهُمْ عَذَابٌ مُّهِينٌ
Kecelakaan yang besarlah bagi tiap-tiap orang yang banyak berdusta lagi banyak berdosa, dia mendengar ayat-ayat Allah yang dibacakan kepadanya kemudian dia tetap menyombongkan diri seakan-akan dia tidak mendengarnya. Maka beri khabar gembiralah dia dengan azab yang pedih. Dan apabila dia mengetahui barang sedikit tentang ayat-ayat Kami, maka ayat-ayat itu dijadikan olok-olok. Merekalah yang memperoleh azab yang menghinakan. [Al Jatsiyah:7-9]
.
Allah subhanahuwata’ala telah melarang umat Islam duduk bersama orang-orang kafir yang sedang memperolok-olok ayat-ayatNya. Allah berfirman.
وَقَدْ نَزَّلَ عَلَيْكُمْ فِي الْكِتَابِ أَنْ إِذَا سَمِعْتُمْ ءَايَاتِ اللهِ يُكْفَرُ بِهَا وَيُسْتَهْزَأُ بِهَا فَلاَ تَقْعُدُوا مَعَهُمْ حَتَّى يَخُوضُوا فِي حَدِيثٍ غَيْرِهِ إِنَّكُمْ إِذًا مِّثْلُهُمْ إِنَّ اللهَ جَامِعُ الْمُنَافِقِينَ وَالْكَافِرِينَ فِي جَهَنَّمَ جَمِيعًا
Dan sungguh Allah telah menurunkan kepada kamu di dalam Al Quran bahwa apabila kamu mendengar ayat-ayat Allah diingkari dan diperolok-olokkan (oleh orang-orang kafir), maka janganlah kamu duduk beserta mereka, sehingga mereka memasuki pembicaraan yang lain. kerana sesungguhnya (kalau kamu berbuat demikian), tentulah kamu serupa dengan mereka. Sesungguhnya Allah akan mengumpulkan orang-orang munafik dan orang-orang kafir di dalam jahannam. [An Nisa’:140]
Oleh kerana itu, barangsiapa mendengar orang-orang yang memperolok-olok ayat-ayat Allah, sedangkan dia duduk bersama mereka dengan ridha, maka dia semisal mereka di dalam dosa, kekafiran, dan keluar dari Islam.
Imam Asy Syafi’e rahimahullah ditanya tentang orang yang bersendau-gurau dengan sesuatu dari ayat-ayat Allah, beliau berkata: “Dia kafir”. Beliau berdalil dengan ayat 65 surat At Taubah yang telah kami sebutkan di atas. [4]
ISTIZHA’ TERHADAP RASUL
Demikian juga istihza’ terhadap Rasul, merupakan kebiasaan orang-orang kafir semenjak dahulu. Allah berfirman.
وَلَقَدِ اسْتُهْزِئَ بِرُسُلٍ مِّن قَبْلِكَ فَحَاقَ بِالَّذِينَ سَخِرُوا مِنْهُم مَّا كَانُوا بِهِ يَسْتَهْزِءُونَ
Dan sungguh telah diperolok-olokkan beberapa rasul sebelum kamu, maka turunlah kepada orang-orang yang mencemuhkan diantara mereka balasan (azab) olok-olokkan mereka. [Al An’am:10].
Adapun orang yang hatinya terdapat keimanan, tidak mungkin mencela dan memperolok-olok manusia pilihan Allah; manusia yang wajib dicintai, dihormati, dan diagungkan sesuai dengan kedudukannya yang agung di sisi Allah.
ISTIZHA’ AGAMA
وَإِذَا نَادَيْتُمْ إِلَى الصَّلاَةِ اتَّخَذُوهَا هُزُوًا وَلَعِبًا ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ قَوْمُُ لاَّ يَعْقِلُونَ
Dan apabila kamu menyeru (mereka) untuk (mengerjakan) solat, mereka menjadikan buah ejekan dan permainan. Yang demikian itu adalah kerana mereka benar-benar kaum yang tidak mahu mempergunakan akal. [Al Maidah:58].
Istihza’ terhadap agama juga merupakan kekafiran. Seperti istihza’ terhadap pahala dan siksa Allah, istihza’ terhadap solat, istihza’ terhadap syari’at memelihara lihyah (janggut dan jambang) bagi laki-laki, istihza’ terhadap larangan isbal (pakaian laki-laki menutupi mata kaki), dan lainnya.
ISTIZHA’ ORANG BERIMAN
Hai ini juga merupakan kebiasaan orang-orang kafir. Mereka akan mengetahui balasannya di hari kiamat kelak. Mereka biasa menertawakan orang-orang yang beriman di dunia, kerana keimanan mereka, maka orang-orang beriman akan membalas menertawakan mereka. Allah berfirman.
إِنَّ الَّذِينَ أَجْرَمُوا كَانُوا مِنَ الَّذِينَ ءَامَنُوا يَضْحَكُونَ {29} وَإِذَا مَرُّوا بِهِمْ يَتَغَامَزُونَ
Sesungguhnya orang-orang yang berdosa adalah mereka yang dahulunya (di dunia) menertawakan orang-orang yang beriman. Apabila orang-orang beriman berlalu di hadapan mereka, mereka saling mengedip-ngedipkan matanya. [Al Muthaffifin:29-30]
BENTUK ISTIHZA’
Dilihat dari bentuknya, sebagian ulama membagi istihza’ terhadap agama menjadi dua bahagian.
Pertama. Istihza’ Sharih (nyata, terang-terangan). Contohnya:
• Perkataan orang yang menjadi sebab turunnya ayat 65 surat At Taubah, yang mengatakan tentang Nabi dan para sahabat dengan perkataan: “Aku tidak pernah melihat semisal para qari’ (ahli Al Qur’an atau ahli agama) kita ini, lebih rakus perutnya, lebih dusta lidahnya, dan lebih penakut di saat pertempuran”.
• Mengejek agama dengan perkataan “agama kamu ini agama ke lima”.
• Mengejek agama dengan perkataan “agama kamu ini sudah ketinggalan (kuno)”.
• Ketika melihat orang beramar ma’ruf nahi mungkar, mengatakan “datang ahli agama”, “datang orang ‘alim”, yang maksudnya untuk merendahkan dan menertawakan. Dan sepertinya.
Kedua. Istihza’ Ghairush Sharih (tidak nyata, tidak terang-terangan). Contohnya:
• Mengedipkan mata, menjulurkan lidah, mencemikkan bibir, mencubit dengan tangan, saat dibacakan Al Qur’an atau hadith Nabi atau ketika seseorang melakukan amar ma’ruf dan nahi munkar.
• Mengatakan “agama Islam tidak sesuai pada abad ini, hanya sesuai untuk abad pertengahan, abad unta”.
• Mengatakan “agama Islam agama kemunduran, terbelakang”.
• Mengatakan “hukuman dalam agama Islam kejam, biadab, buas, dan semacamnya”.
• Mengatakan “agama Islam menzalimi wanita, kerana membolehkan poligami”.
• Perkataan “hukum buatan manusia lebih baik dari pada hukum Islam”.
• Terhadap orang yang mendakwahkan tauhid dan melarang syirik mengatakan “orang ini ekstrimis, fundamentalis”, atau “orang ini ingin memecah-belah umat Islam”, atau “orang ini Wahhabi”, dan semacamnya.
• Terhadap orang yang menyerukan Sunnah Nabi mengatakan “agama bukan pada rambut”, atau “agama bukan pada pakaian”, atau sepertinya. [5]
Sebagai penutup tulisan ini, kami sampaikan firman Allah yang memberitakan tentang balasan pedih terhadap orang-orang yang menjadikan ayat-ayat Allah sebagai ejekan. Allah berfirman.
وَقِيلَ الْيَوْمَ نَنسَاكُمْ كَمَا نَسِيتُمْ لِقَآءَ يَوْمِكُمْ هَذَا وَمَأْوَاكُمُ النَّارُ وَمَالَكُم مِّن َّناصِرِينَ , ذَلِكُم بِأَنَّكُمُ اتَّخَذْتُمْ ءَايَاتِ اللهِ هُزُوًا وَغَرَّتْكُمُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا فَالْيَوْمَ لاَيُخُرَجُونَ مِنْهَا وَلاَهُمْ يُسْتَعْتَبُونَ ,
Dan dikatakan (kepada mereka):"Pada hari ini Kami melupakan kamu sebagaimana kamu telah melupakan pertemuan (dengan) harimu ini dan tempat kembalimu ialah neraka dan kamu sekali-kali tidak memperoleh penolong. Yang demikian itu, kerana sesungguhnya kamu menjadikan ayat-ayat Allah sebagai olok-olokan dan kamu telah ditipu oleh kehidupan dunia, maka pada hari ini mereka tidak dikeluarkan dari neraka dan tidak pula mereka diberi kesempatan untuk bertaubat. [Al Jatsiyah:34-35].
Semoga Allah selalu membimbing kita di atas kebenaran.
_______
Footnote
[1]. Lihat Majmu’ Fatawa (15/48)
[2]. HR Ibnu Abi Hatim dan Ibnu Jarir Ath Thabari, dinukil dari Ash Shahihul Musnad Min Asbabiln Nuzul, hlm. 122-123, karya Syaikh Muqbil bin Hadi Al Wadi’i
[3]. Al Iman, hlm. 259, karya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, takhrij Al Albani
[4]. Ash Sharimul Maslul, hlm. 513, dinukil dari Syarh Nawaqidhul Islam, hlm. 74, karya Syaikh Abu Usamah bin Ali Al ‘Awaji.
[5]. Lihat Majmu’atut Tauhid An Najdiyah, hlm. 409; Kitab At Tauhid, hlm. 43-44, karya Syaikh Shalih bin Fauzan Al Fauzan, Penerbit Darul Qasim, Cet. 2, Th. 1421 H / 2000 M; At Tibyan Syarh Nawaqidhul Islam, hlm. 47, karya Syaikh Sulaiman bin Nashir bin Abdullah Al ‘Ulwan, Penerbit Darul Muslim, Cet. 6, Th: 1417 H / 1996 M.
No comments:
Post a Comment