Friday 23 September 2011

HARUSKAH MENYEBUTKAN KEBAIKAN AHLUL BID'AH




Ustadz Muhammad Umar as-Sewed & Muh. Sholehuddin

Di antara syubhat yang dilontarkan oleh para mudzabdzabin(1) adalah ucapan mereka: “Kita tidak boleh melupakan jasa-jasa dan kebaikan ahlul bid’ah”, “Keti-ka kita mengkritik ahlul bid’ah, kita harus pula menyebutkan kebaikan mereka”, atau “Bagaimana pun mereka juga mempunyai kebaikan” dan kalimat-kalimat lain yang semakna. Sebaliknya para ulama yang tidak menyebutkan kebaikan ahlul bid’ah dituduh zalim dan tidak adil.

Mereka berupaya untuk meruntuhkan kaidah jarh (kritikan dan celaan) para ulama terhadap ahlul bid’ah, dengan menganggap bahawa perselisihan yang terjadi di kalangan kelompok-kelompok sempalan ahlul bid’ah adalah permasalahan keaneka-ragaman yang saling melengkapi, bukan pertentangan. Kemudian mereka memberikan syarat bagi siapa saja yang hendak mengkritik ahlul bid’ah dan menerangkan kesesatan yang ada padanya untuk menyebutkan pula kebaikan-kebaikannya. Barangsiapa yang tidak melakukannya bererti dia tergolong sebagai orang yang zalim dan berlebihan alias keterlaluan --menurut anggapan batil mereka--.

Mereka mencari-cari dalil untuk mendukung kebid’ahan mereka dengan ucapan yang samar, berbias atau mutasyabihat agar dapat dijadikan sebagai fitnah dan dicari-cari ta’wilnya. Upaya mereka itu bertujuan untuk menghilangkan sekat pemisah antara ah-lus sunnah dan ahlul bid’ah, untuk kemu-dian menggabungkan mereka dalam satu parti atau kelompok besar(hizbiyyah) yang hanya mementingkan kuantiti dan tidak mementingkan kualiti.
Sungguh suatu upaya yang mustahil menggabungkan dua kelompok yang ber-lawanan. Yang satu mengatakan “Ikutilah sunnah jauhilah bid’ah”, sedangkan yang lain mengatakan: “Kerjakanlah kebid’ahan dan tinggalkanlah sunnah”.

Jangan dianggap kecil ucapan-ucap-an mereka! Dengan syubhat mereka ini akan gugur prinsip-prinsip ahlus sunnah seperti: amar ma’ruf nahi mungkar, kai-dah jarh wa ta’dil dalam ilmu hadits dan akan menjatuhkan para ulama ahlul ha-dits dengan tuduhan dzalim. Yang pada akhirnya akan menumbuh-suburkan kebid’ahan dan mematikan sunnah.

Mereka menganggap bahwa menyebutkan kebaikan ahlul bid’ah ketika mengkritiknya adalah “keadilan” (inshaf). Guna mendukung kebid’ahan mereka ini, mereka bawakan ayat dan hadith tentang kewajiban berbuat adil. Di antara ayat yang sering mereka dengungkan adalah firman Allah:


يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا كُونُوا قَوَّامِينَ لِلَّهِ شُهَدَاءَ بِالْقِسْطِ وَلاَ يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَآنُ قَوْمٍ عَلَى أَلاَّ تَعْدِلُوا اعْدِلُوا هُوَ أَقْرَبُ لِلتَّقْوَى وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ. المائدة: 8


Hai orang-orang yang beriman hendak-lah kalian menjadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencian kalian terhadap sesuatu kaum, mendorong kalian untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, kerana adil itu lebih dekat pada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kalian kerjakan. (al-Maidah: 8)

Dengan ayat ini mereka berpendapat bahwa kita harus berbuat adil sekalipun terhadap musuh-musuh kita yaitu de-ngan menyebutkan kebaikan-kebaikan mereka, jangan hanya menyebutkan keje-lekannya saja.

Sungguh ini adalah pemahaman yang sangat batil akan makna keadilan. Karena sesungguhnya makna keadilan menurut para ulama salaf sejak shahabat sampai hari ini adalah menghukumi sese-orang dengan hak dan kebenaran atau menempatkan sesuatu pada tempatnya.

Maka jika seorang ulama mengkritik atau menjarh seseorang yang sesat (ahlul bid’ah) yang memang sepantasnya untuk di jarh dengan bukti-bukti yang benar dan dalil yang jelas. Kemudian memperingatkan manusia dari bahaya kesesatannya maka itu adalah keadilan dan bukan kezaliman. Kecuali jika ia menuduh dengan bukti-bukti yang dusta dan saksi-saksi palsu atau menjarh orang yang tidak layak untuk di-jarh dari kalangan ulama ahlus sunnah yang jujur dan terpercaya (tsiqah), maka itulah yang dinamakan kezaliman. Sama sekali tidak berkaitan dengan masalah penyebutan kebaikannya atau pun tidak.

Di samping itu, menyebutkan kebaikan ketika kita memperingatkan manu-sia dari penyimpangan seseorang sungguh sangat bertentangan dengan hikmah dan tujuan peringatan itu sendiri. Apa-kah pantas kita katakan: “Hati-hati dari orang khawarij ini, tetapi dia memiliki kebaikan-kebaikan”?, “Hati-hatilah dari kesesatan orang syi’ah ini, namun dia adalah orang yang baik, ahli ibadah, dermawan dan lain-lain”?!.

Mereka juga memakai dalil-dalil yang dipaksakan, di antaranya ucapan Rasulullah shalallahu 'alaihi wa sallam kepada Abu Hurairah ketika beliau menerangkan siapa orang yang mencuri harta baitul maal dan mengajar-kan ayat kursi:


أَمَا إِنَّهُ صَدَقَكَ وَهُوَ كَذُوْبٌ. (رواه البخاري


Ketahuilah sesungguhnya dia telah ber-kata benar kepadamu padahal dia pendusta. (HR. Bukhari)

Ucapan ini dianggap oleh para mudzabdzabin tadi sebagai dalil harusnya menyebutkan kebaikan walaupun itu adalah setan sang pendusta.

Untuk menjawab syubhat tentang hadith Abu Hurairah tersebut, maka kita bantah dari beberapa sisi:

Pertama: Di dalam hadith dijelas-kan bahwa tatkala Abu Hurairah meng-kabarkan kepada Rasulullah shalallahu 'alaihi wa sallam tentang kisah di atas, maka Rasulullah shalallahu 'alaihi wa sallam memberitakan kepadanya dengan mengatakan:


أَمَا إِنَّهُ كَذَبَكَ وَسَيَعُوْدُ


“Ketahuilah bahwa sesungguhnya dia telah berdusta kepadamu dan dia akan kembali (mengulangi perbuatannya)”.
Maka syaitan pun kembali melakukan pencurian, dan Abu Hurairah kembali menangkapnya. Kemudian beliau mengkabarkannya kepada Rasulullah shalallahu 'alaihi wa sallam tentang hal itu, maka Rasulullah shalallahu 'alaihi wa sallam pun bersabda untuk kedua kalinya: “Ketahuilah bahawa dia telah berdusta kepadamu dan dia akan kembali (mengulangi perbuatannya)”. (HR. Bukhari)

Dari kejadian ini dapat kita lihat bahawa Rasulullah shalallahu 'alaihi wa sallam tidak melakukan apa yang diistilahkan oleh mereka --para ahlul bid’ah-- dengan muwazanah (keseimbangan) antara penyebutan kejelekan syaitan dan kebaikan-kebaikannya pada dua peringatan pertama beliau. Dan beliau juga tidak memerintahkan kepada Abu Hurairah atau yang lainnya dari kalangan sahabat untuk melakukan hal itu walaupun sedikit, demi memberikan pendidikan muwazanah (balance).

Kedua: Ucapan beliau shalallahu 'alaihi wa sallam pada keja-dian ketiga: “Ketahuilah, sesungguhnya dia telah berkata benar namun dia adalah seorang pendusta”, tidak menunjukkan adanya sedikitpun sikap muwazanah antara kebaikan dan kejelekan amalan syaitan.
Sesungguhnya yang ada hanyalah menerima kebenaran dan kejujuran dari siapa saja.
Menyatakan yang hak adalah hak dan yang batil adalah batil, dari siapa pun sumbernya. Apakah dia seorang Ya-hudi, Nashrani, penyembah berhala, sosi-alis, atau setan yang pendusta lagi terkutuk sekalipun.

Di sini menunjukkan pemuliaan ter-hadap kebenaran dan kejujuran serta pe-nerimaannya, walaupun datang dari jalan sumber yang jelek. Terlebih lagi apabila kita tidak mendapatkan jalan menuju ke-benaran tersebut, kecuali dari jalannya.

Ini jauh berbeda dengan apa yang dilakukan oleh orang-orang kafir, ahlul bid’ah, penentang kebenaran, kaum hizbiyyin harakiyyin (dan para mudzab-dzabin sendiri, pent), dimana mereka adalah orang-orang yang menolak kebe-naran dan kejujuran, walaupun datang-nya dari orang-orang yang jujur lagi adil. Bahkan walaupun datangnya dari para nabi dan rasul, sekalipun sebagaimana yang terjadi pada orang-orang kafir. (Li-hat Manhaj Ahlus Sunnah wal Jama’ah fi Naqdir Rijal, DR. Rabi’ bin Hadi al Madkhali hal. 70-71)

Alasan lainnya adalah apa yang me-reka nukilkan dari para ulama ahlus sun-nah ketika menuliskan biografi para tokoh-tokoh ahlul bid’ah. Mereka menu-liskannya secara lengkap: ilmunya, jasa-jasanya, dan sekaligus penyimpangan dan kesesatannya.

Mereka anggap sikap para ulama ini adalah mendukung prinsip muwazanah (keseimbangan) mereka. Di antara yang paling banyak mereka nukil adalah ucap-an imam adz-Dzahabi dalam as-Siyar.

Kita bantah alasan mereka ini dengan beberapa kalimat:

Pertama, kita katakan sungguh sangat berbeda antara seorang ulama yang menulis biografi seseorang dan seorang ulama yang sedang memperingatkan umat dari bahaya penyimpangan sese-orang. Entah apakah mereka tidak me-ngerti atau berpura-pura tidak mengerti.

Sebagai contoh lihat apa yang dila-kukan oleh imam ad-Dzahabi sendiri sebagaimana yang ternukil dalam kitab beliau “as-Siyar” yang berisi biografi dan kitab beliau “al-Kaasyif” yang merupa-kan kritikan. Kita dapati di dalam as-Siyar, beliau menyebutkan kebaikan dan kejelekan orang yang diterangkan biogra-finya secara lengkap, karena memang sedang membahasan biografi. Lain hal-nya yang terdapat dalam kitab beliau al-Kaasyif, beliau tidak menyebutkan se-orang perawi melainkan kritikan (jarh).

Oleh karena itulah berkata Rafi’ bin Asyras rahimahullah: “Adalah dikatakan termasuk dari hukuman bagi pendusta ialah untuk tidak diterima kejujurannya. Dan aku katakan: “Termasuk dari balas-an bagi orang yang fasik dan ahlu bid’ah ialah untuk tidak disebutkan kebaikan-kebaikannya”. (Lihat Syarah ‘Ilal at Tirmidzi, Ibnu Rajab 1/353 dan Irsyadul Bariyyah, Hasan bin Qasim hal.198-201)

Kedua, betapa banyak ayat-ayat dalam al-Qur’an dan hadits-hadits shahih yang menceritakan tentang kejelekan Yahudi, Nashrani, kaum musyrikin, mu-nafiqin dan orang-orang sesat dengan tanpa menyebutkan kebaikan-kebaikan mereka. Apakah mereka menganggap semua itu sebagai kedzaliman?!

Ketiga, para ulama tidak ada yang mewajibkan untuk menyebutkan kebaik-an ketika mengkritik seseorang.

Berkata Syaikh Abdul Aziz bin Ab-dullah bin Baaz ketika ditanya apakah perlu menyebutkan kebaikan ahlul bid-’ah: “Tidak! tidak mesti menyebutkan kebaikan mereka. Jika engkau membaca buku-buku ahlus sunnah, engkau akan dapati yang demikian, karena tujuan me-reka adalah memperingatkan…” (Lihat al-Mahajatul Baidla’, Syaikh Rabi’ bin Hadi al-Madkhali, hal. 7)

Syaikh Abdul Muhsin al-Abbad keti-ka ditanya dengan pertanyaan yang sa-ma, beliau menjawab: “Tidak perlu eng-kau mengumpulkan kebaikan dan me-nyebutkannya”. (Lihat al-Mahajatul Baidla’, Syaikh Rabi’ bin Hadi al-Madkhali, hal. 19)

Demikian pula Syaikh al-Albani keti-ka ditanya dengan pertanyaan yang sa-ma, beliau berkata: “Itu merupakan prinsip bid’ah, apakah ketika seorang ulama hadits berbicara tentang orang yang shalih atau alim dan faqih bahwa dia lemah hafalannya, apakah mesti dia mengatakan setelah itu: dia adalah orang shalih, faqih, menjadi rujukan dalam mengambil hukum-hukum fiqih … dan seterusnya?! Allahu Akbar”. (Lihat al-Mahajatul Baidla’, Syaikh Rabi’ bin Hadi al-Madkhali, hal. 19). Wallahu a'lam.

No comments:

Post a Comment