Tuesday 31 May 2011

Hakekat Sufi dan Tasawuf Dari Kacamata Ahlusunnah


بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ


السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
الحمد لله، والصلاة والسلام على رسول الله
وبعد

Hakekat Sufi dan Tasawuf Dari Kacamata Ahlusunnah
By : Zaidi Assalafy

Bashrah, sebuah kota di negeri Iraq, merupakan tempat kelahiran pertama bagi Tasawuf dan Sufi. Yang mana (di masa tabi’in) sebahagian dari ahli ibadah Bashrah mulai berlebihan dalam beribadah, zuhud dan wara’ terhadap dunia (dengan cara yang belum pernah dicontohkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam), hingga akhirnya mereka memilih untuk mengenakan pakaian yang terbuat dari bulu domba “shuuf” (صُوْف). Meski kelompok ini tidak mewajibkan tarekatnya dengan pakaian semacam itu, namun atas dasar inilah mereka disebut dengan “Sufi”, sebagai nisbat kepada Shuuf (صُوْف).

Oleh kerana itu, lafaz Sufi ini bukanlah nisbat kepada Ahlush Shuffah yang ada di zaman Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam, kerana nisbat kepadanya dinamakan Shuffi (صُفِّيٌ), bukan pula nisbat kepada shaf terdepan di hadapan Allah Ta’ala, kerana nisbat kepadanya dinamakan Shaffi (صَفِّيٌ), bukan pula nisbat kepada makhluk pilihan Allah (الصَّفْوَةُ مِنْ خَلْقِ اللهِ) karena nisbat kepadanya adalah Shafawi (صَفَوِيٌّ) dan bukan pula nisbat kepada Shufah bin Bisyr (salah satu suku Arab), walaupun secara lafaz boleh dibenarkan, namun secara makna sangatlah lemah, kerana antara suku tersebut dengan kelompok Sufi tidak berkaitan sama sekali.

Para ulama Bashrah yang mendapati masa kemunculan mereka, tidaklah tinggal diam. Sebagaimana yang diriwayatkan oleh Abu Asy Syaikh-Al Ashbahani rahimahullah dengan sanadnya dari Muhammad bin Sirin rahimahullah bahawasanya telah sampai kepadanya berita tentang orang-orang yang mengutamakan pakaian yang terbuat dari bulu domba, maka beliau pun berkata: “Sesungguhnya ada orang-orang yang mengutamakan pakaian yang terbuat dari bulu domba dengan alasan untuk meneladani Al Masih bin Maryam! Maka sesungguhnya petunjuk Nabi kita lebih kita cintai (dibanding petunjuk Al Masih), beliau Shallallahu ‘alaihi wassalam biasa mengenakan pakaian yang terbuat dari bahan katun dan yang selainnya.” (Diringkas dari Majmu’ Fatawa, karya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah Juz 11, hal. 6,16 ).


Asal Usul Pereka Tasawuf

Ibnu ‘Ajibah seorang Sufi Fathimi, mendakwa bahawasanya peletak Tasawuf adalah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam sendiri yang mana beliau -menurut Ibnu ‘Ajibah- mendapatkannya dari Allah Ta’ala melalui wahyu dan ilham. Kemudian Ibnu ‘Ajibah berbicara panjang lebar tentang permasalahan tersebut dengan disertai corak keanehan dan kedustaan. Ia berkata: “Jibril pertama kali turun kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam dengan membawa ilmu syariat, dan ketika ilmu itu telah mantap, maka turunlah ia untuk kedua kalinya dengan membawa ilmu hakikat. Beliau Shallallahu ‘alaihi wassalam pun mengajarkan ilmu hakikat ini pada orang-orang khususnya saja. Dan yang pertama kali menyampaikan Tasawuf adalah Ali bin Abi Thalib Radiyallahu ‘anhu, kemudian Al Hasan Al Bashri rahimahullah menimba darinya.” (Iqazhul Himam Fi Syarhil Hikam, hal.5 dinukil dari At Tashawwuf Min Shuwaril Jahiliyah, hal. 8).

Asy Syaikh Muhammad Aman Al Jami rahimahullah berkata:

 “Perkataan Ibnu ‘Ajibah ini merupakan tuduhan keji lagi lancang terhadap Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam, ia menuduh dengan kedustaan bahawa beliau menyembunyikan kebenaran. Dan tidaklah seseorang menuduh Nabi dengan tuduhan tersebut, kecuali seorang zindiq yang keluar dari Islam dan berusaha untuk memalingkan manusia dari Islam jika ia mampu, kerana Allah Ta’ala telah perintahkan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wassalam untuk menyampaikan kebenaran tersebut dalam firman-Nya (artinya): “Wahai Rasul sampaikanlah apa yang telah diturunkan kepadamu oleh Rabbmu, dan jika engkau tidak melakukannya, maka (pada hakikatnya) engkau tidak menyampaikan risalah-Nya.” (Al Maidah : 67).

Beliau juga berkata: “Adapun pengkhususan Ahlul Bait dengan sesuatu dari ilmu dan agama, maka ini merupakan pemikiran yang diwarisi oleh orang-orang Sufi dari pemimpin-pemimpin mereka (Syi’ah). Dan benar-benar Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu ‘anhu sendiri yang membantahnya, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Al Imam Muslim rahimahullah dari hadith Abu Thufail Amir bin Watsilah Radhiyallahu ‘anhu ia berkata:
“Suatu saat aku pernah berada di sisi Ali bin Abi Thalib Radiyallahu ‘anhu, maka datanglah seorang laki-laki seraya berkata: “Apa yang pernah dirahasiakan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wassalam kepadamu?” Maka Ali pun marah lalu mengatakan: “Nabi Shallallahu ‘alaihi wassalam belum pernah merahasiakan sesuatu kepadaku yang tidak disampaikan kepada manusia! Hanya saja beliau Shallallahu ‘alaihi wassalam pernah memberitahukan kepadaku tentang empat perkara. Abu Thufail Radiyallahu ‘anhu berkata: “Apa empat perkara itu wahai Amirul Mukminin?” Beliau menjawab: 
“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam bersabda: “(Ertinya) Allah melaknat seorang yang melaknat kedua orang tuanya, Allah melaknat seorang yang menyembelih untuk selain Allah, Allah melaknat seorang yang melindungi pelaku kejahatan, dan Allah melaknat seorang yang mengubah tanda batas tanah.” (At Tashawwuf Min Shuwaril Jahiliyyah, hal. 7-8)


Penyucian Jiwa Menurut Al Quran Dan Assunnah

Allah mengukuhkan kita di atas kebenaran, bukan di atas kebatilan- ajaran Sufi yang popular dan kata orang mengajarkan penyucian jiwa, pendekatan diri kepada Allah serta membuang jauh-jauh ketergantungan hati kepada dunia serta mengikatkan hati manusia hanya kepada Allah, kita telah akrab dengan istilah ini. Meskipun demikian, sebagai muslim yang baik tentunya kita tidak akan berbicara dan bersikap kecuali dengan landasan dalil dari Allah ta’ala. Allah berfirman (yang ertinya), 

“Janganlah kamu mengikuti sesuatu yang kamu tidak memiliki ilmu tentangnya, sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, itu semua pasti dimintai pertanggung jawabannya.” (QS. Al-Israa’: 36)

Sesungguhnya perkara penyucian jiwa, melembutkan hati dan pendekatan diri kepada Allah serta melepaskan ketergantungan hati kepada dunia dan mengikatkan hati manusia kepada Rabbnya merupakan ajaran Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tanpa kita ragukan barang sedikit pun. Allah ta’ala berfirman (yang ertinya), 

“Sungguh Allah telah mengaruniakan nikmat bagi orang-orang yang beriman ketika mengutus rasul dari kalangan mereka sendiri, yang membacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya, menyucikan jiwa mereka, dan mengajarkan kepada mereka Al-Kitab dan Al Hikmah (As-Sunnah) padahal sebelumnya mereka dulu berada di dalam kesesatan yang nyata.” (QS. Ali Imran: 164).

Maka tugas Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah membacakan dan menerangkan ayat-ayat Allah, menyucikan jiwa manusia dari berbagai kotoran dosa dan kesyirikan, dan mengajarkan Al-Kitab dan As-Sunnah kepada mereka.
Oleh kerana itulah apabila kita membuka kitab-kitab hadith akan kita jumpai di sana sebuah bab khusus yang menyebutkan riwayat-riwayat hadith Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang mengajarkan penyucian jiwa dan melembutkan hati. Contohnya di dalam Sahih Bukhari, Al-Bukhari rahimahullah menulis Kitab Ar-Riqaaq (hal-hal yang dapat melembutkan hati), di sana beliau membawakan hadith-hadith Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang terkait dengan hal ini sebanyak seratus hadith lebih, yaitu hadits no. 6412-6593 (lihat Sahih Bukhari cet. Maktabah Al-Iman, halaman. 1306-1332)
Demikian juga murid Al-Bukhari yaitu Muslim rahimahullah membuat Kitab Ar-Riqaaq, Kitab At-Taubah, Kitab Shifatul Munafiqin wa ahkamuhum, Kitab Shifatul qiyamah wal jannah wan naar, dan lain sebagainya hingga Kitab Az-Zuhd wa raqaa’iq yang mencantumkan dua ratus hadith lebih tentang penyucian jiwa dan hal-hal yang terkait dengannya di dalam Sahihnya (lihat Sahih Muslim yang dicetak bersama Syarah Nawawi, hal. 5-259).
Demikian pula di antara para ulama ada yang menyusun kitab khusus tentangnya seperti Adz-Dzahabi yang menulis kitab Al-Kaba’ir tentang dosa-dosa besar. An-Nawawi yang menulis Riyadhush Shalihin yang mencakup berbagai pembahasan tentang penempaan diri dan penyucian jiwa. Shifatu Shafwah dan Al-Latha’if karya Ibnul Jauzi. Bahkan banyak kitab hadith yang dinamakan dengan kitab Az-Zuhd, seperti Az-Zuhd karya Abu Hatim Ar-Razi, Az-Zuhd karya Abu Dawud, Az-Zuhd karya Imam Ahmad bin Hanbal, dan lain-lain, semoga Allah merahmati mereka semua. Bukankah dengan membaca ayat-ayat Al-Qur’an, kemudian riwayat-riwayat hadith sahih serta penjelasan ulama yang ada di dalam kitab-kitab tersebut kita dapat mempelajari bagaimanakah menyucikan jiwa, bagaimana mendekatkan diri kepada Allah dan bagaimana melepaskan ketergantungan hati kepada selain-Nya…
Inilah pelajaran-pelajaran akhlak dan penyucian jiwa yang disampaikan oleh para ulama kepada kita. Sehingga kalau yang dimaksud sufi adalah itu semua (penyucian jiwa ) maka akan kita katakan bahawa itulah yang diajarkan oleh Ahlus Sunnah wal Jama’ah alias manhaj salaf kepada umat manusia. Oleh sebab itu Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata mengenai salah satu sifat Ahlus Sunnah, “Mereka memerintahkan untuk sabar ketika tertimpa musibah, bersyukur ketika lapang, serta merasa ridha dengan ketetapan takdir yang terasa pahit. Mereka juga menyeru kepada kemuliaan akhlak dan amal-amal yang baik, mereka meyakini makna sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, ‘Orang beriman yang paling sempurna keimanannya adalah yang paling baik akhlaknya.’…” (Aqidah Wasithiyah, hal. 87).
Sekiranya Kalau ajaran menyucikan diri dan menggantungkan hati hanya kepada Allah -sebagaimana yang diajarkan oleh Nabi dan para sahabat- disebut Atau Di Gelar sufi maka saksikanlah bahawa saya adalah seorang sufi!
Namun, ketahuilah ,semoga Allah merahmatimu- kalau kita cermati lebih jauh ajaran sufi atau tasawuf dan berbagai macam tarekat yang dinisbatkan ke dalamnya beserta rambu-rambu ajaran dan lontaran-lontaran aneh yang mereka angkat, niscaya akan teranglah bagi kita bahawa sebenarnya ajaran Sufi yang berkembang hingga hari ini -di dunia secara umum ataupun dinegeri kita secara khusus- telah banyak menyeleweng dari rambu-rambu Al-Kitab dan As-Sunnah.


Tasawuf /Sufi  Dalam Ilmu kasyaf Dan ilmu laduni (ilmu batin) 

Ilmu kasyaf atau yang lebih dikenal dengan ilmu laduni (ilmu batin) tidaklah asing ditelinga kita, lebih – lebih lagi bagi siapa saja yang sangat erat hubungannya dengan tasawuf beserta tarekat-tarekatnya.
Kata sebahagian orang: “Ilmu ini sangat Hebat dan Keramat. Bukan sembarang orang boleh meraihnya, kecuali para wali yang telah sampai pada tingkatan ma’rifat. Sehingga jangan sembrono untuk buruk sangka, apalagi mengkritik wali-wali yang tingkah lakunya secara zahir menyelisihi syariat.

Wali-wali itu berbeza tingkatan dengan kita, mereka sudah sampai tingkatan ma’rifat yang tidak boleh ditimbang dengan timbangan syari’at lagi”. Benarkah demikian? Inilah topik yang kita kupas pada kajian kali ini.


Hakikat Ilmu Laduni

Kaum sufi telah mempromosi keistimewaan ilmu laduni. Ia merupakan ilmu yang paling agung dan puncak dari segala ilmu. Dengan mujahadah, pembersihan dan pensucian hati akan terpancar nur dari hatinya, sehingga terbukalah seluruh rahsia-rahsia alam ghaib bahkan boleh berkomunikasi langsung dengan Allah, para Rasul dan ruh-ruh yang lainnya, termasuk nabi Khidhir. Tidaklah boleh diraih ilmu ini kecuali setelah mencapai tingkatan ma’rifat melalui latihan-latihan, amalan-amalan, ataupun zikir-zikir tertentu.
Ini bukan suatu wacana atau tuduhan semata, tapi terucap dari lisan tokoh-tokoh tegar kaum sufi, seperti Al Junaidi, Abu Yazid Al Busthami, Ibnu Arabi, Al Ghazali, dan masih banyak lagi yang lainnya yang terdapat dalam karya-karya tulis mereka sendiri.




Bukti Perkataan Sufi Dan Tasawuf Yang Menyeleweng

Al Hallaj seorang pemuja sufi, berkata: “Kemudian Dia (Allah) menampakkan diri kepada makhluk-Nya dalam bentuk orang makan dan minum.” (Dinukil dari Firaq Mua’shirah, karya Dr. Ghalib bin Ali Iwaji, juz 2 hal.600).

Padahal Allah Ta’ala telah berfirman:

لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ

“Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Allah, dan Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (Asy Syuura : 11)

رَبُّهُ قَالَ رَبِّ أَرِنِي أَنْظُرْ إِلَيْكَ قَالَ لَنْ تَرَانِي

“Berkatalah Musa: “Wahai Rabbku nampakkanlah (diri Engkau) kepadaku agar aku dapat melihat-Mu.” Allah berfirman: “Kamu sekali-kali tidak akan sanggup melihat-Ku (yakni di dunia)” (Al A’raaf : 143).

Ibnu ‘Arabi, tokoh sufi lainnya, berkata: “Sesungguhnya seseorang ketika menyetubuhi isterinya tidak lain (ketika itu) ia menyetubuhi Allah!” (Fushushul Hikam).

Betapa kufurnya kata-kata ini, tidakkah orang-orang Sufi sedar akan kesesatan Nyata nya ini.

Ibnu ‘Arabi juga berkata: “Maka Allah memujiku dan aku pun memuji-Nya, dan Dia menyembahku dan aku pun menyembah-Nya.” (Al Futuhat Al Makkiyyah). [4]

Padahal Allah Ta’ala telah berfirman:

وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالإِنْسَ إِلاَّ لِيَعْبُدُونِ

“Dan tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah kepada-Ku.” (Adz Dzariyat: 56).

إِنْ كُلُّ مَنْ فِي السَّمَوَاتِ وَالأَرْضِ إِلاَّ ءَاتِي الرَّحْمَنِ عَبْدًا
“Tidak ada seorang pun di langit dan di bumi, kecuali akan datang kepada Allah Yang Maha Pemurah dalam keadaan sebagai hamba.” (Maryam : 93).


Jalaluddin Ar Rumi, seorang tokoh sufi yang Zindiq dan Sesat berkata: “Aku seorang muslim, tapi aku juga seorang Nashrani, Brahmawi, dan Zaradasyti, bagiku tempat ibadah sama … masjid, gereja, atau tempat berhala-berhala.” [kitab Ash Shufiyyah Fii Mizanil Kitabi Was Sunnah karya Asy Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu]

Padahal Allah Ta’ala berfirman :

يَبْتَغِ غَيْرَ الإِسْلاَمِ دِينًا فَلَنْ يُقْبَلَ مِنْهُ وَهُوَ فِي الآخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ

“Dan barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) dari padanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang merugi.” (Ali Imran : 85)


Pembahagian ilmu menjadi Syari’at dan Hakikat, yang mana bila seseorang telah sampai pada tingkatan hakikat bererti ia telah mencapai martabat keyakinan yang tinggi kepada Allah Ta’ala, oleh kerana itu gugurlah baginya segala kewajiban dan larangan dalam agama ini.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata:
“Tidak diragukan lagi oleh ahlul ilmi dan iman bahawasanya perkataan tersebut termasuk sebesar-besar kekafiran dan yang paling berat. Ia lebih jahat dari perkataan Yahudi dan Nashrani, kerana Yahudi dan Nashrani beriman dengan sebagian dari isi Al Kitab dan kafir dengan sebahagiannya, sedangkan mereka adalah orang-orang kafir yang sesungguhnya (kerana mereka berkeyakinan dengan sampainya kepada martabat hakikat, tidak lagi terkait dengan kewajiban dan larangan dalam agama ini).” (Majmu’ Fatawa, juz 11 hal. 401).


Zikirnya orang-orang awam adalah لا إله إلا الله , sedangkan zikirnya orang-orang khusus dan paling khusus “الله / Allah”, “هو / Huu”, dan “آه / Aah” saja.

Padahal Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam bersabda:

أَفْضَلُ الذِّكْرَ لاَ إِلهِ إِلاَّ الله

“Sebaik-baik zikir adalah لا إله إلا الله .” (H.R. Tirmidzi, dari shahabat Jabir bin Abdullah Radhiyallahu ‘anhu, dihasankan oleh Asy Syaikh Al Albani dalam Shahih Al Jami’, no. 1104).

Syaikhul Islam rahimahullah berkata:
 “Dan barangsiapa yang beranggapan bahwa لا إله إلا الله  zikirnya orang awam, sedangkan zikirnya orang-orang khusus dan paling khusus adalah “هو / Huu”, maka ia seorang yang sesat dan menyesatkan.” (Risalah Al Ubudiyah, hal. 117-118, dinukil dari Haqiqatut Tashawwuf, hal. 13).
Keyakinan bahawa orang-orang Sufi mempunyai ilmu Kasyaf (dapat menyingkap hal-hal yang tersembunyi) dan ilmu ghaib. Allah Ta’ala dustakan mereka dalam firman-Nya:

قُلْ لاَ يَعْلَمُ مَنْ فِي السَّمَوَاتِ وَالأَرْضِ الْغَيْبَ إِلاَّ اللَّهُ وَمَا يَشْعُرُونَ أَيَّانَ يُبْعَثُونَ

“Katakanlah tidak ada seorang pun di langit dan di bumi yang mengetahui hal-hal yang ghaib kecuali Allah.” (An Naml : 65)
Keyakinan bahwa Allah Ta’ala menciptakan Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wassalam dari nur/cahaya-Nya, dan Allah Ta’ala ciptakan segala sesuatu dari cahaya Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wassalam. Padahal Allah Ta’ala berfirman :

قُلْ إِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ مِثْلُكُمْ يُوحَى إِلَيَّ

“Katakanlah (Wahai Muhammad), sesungguhnya aku hanyalah seorang manusia seperti kalian, yang diwahyukan kepadaku.” (Al Kahfi : 110).

إِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلاَئِكَةِ إِنِّي خَالِقٌ بَشَرًا مِنْ طِينٍ

1. Al Ghazali dalam kitabnya Ihya’ Ulumuddin 1/11-12 berkata: “Ilmu kasyaf adalah tersingkapnya tirai penutup, sehingga kebenaran dalam setiap perkara dapat terlihat jelas seperti menyaksikan langsung dengan mata kepala … inilah ilmu-ilmu yang tidak tertulis dalam kitab-kitab dan tidak dibahas … “. Dia juga berkata: “Awal dari tarekat, dimulai dengan mukasyafah dan musyahadah, sampai dalam keadaan terjaga (sadar) boleh menyaksikan atau berhadapan langsung dengan malaikat-malaikat dan juga ruh-ruh para Nabi dan mendengar langsung suara-suara mereka bahkan mereka dapat langsung mengambil ilmu-ilmu dari mereka”. (Jamharatul Auliya’: 155)

2. Abu Yazid Al Busthami berkata: “Kalian mengambil ilmu dari orang-orang yang mati. Sedang kami mengambil ilmu dari Allah yang Maha Hidup dan tidak akan mati. Orang seperti kami berkata: “Hatiku telah menceritakan kepadaku dari Rabbku”. (Al Mizan: 1/28)

3. Ibnu Arabi berkata: “Ulama syariat mengambil ilmu mereka dari generasi terdahulu sampai hari kiamat. Semakin hari ilmu mereka semakin jauh dari nasab. Para wali mengambil ilmu mereka langsung dari Allah yang dihujamkan ke dalam dada-dada mereka.” (Rasa’il Ibnu Arabi hal. 4)

Pengaruh wihdatul wujud ini juga berkata: “Sesungguhnya seseorang tidak akan sempurna kedudukan ilmunya sampai ilmunya berasal dari Allah ‘Azza wa Jalla secara langsung tanpa melalui perantara, baik dari penukilan ataupun dari gurunya. Sekiranya ilmu tadi diambil melalui penukilan atau seorang guru, maka tidaklah kosong dari sistem belajar model tersebut dari penambahan-penambahan. Ini merupakan aib bagi Allah ‘Azza wa Jalla – sampai dia berkata – maka tidak ada ilmu melainkan dari ilmu kasyaf dan ilmu syuhud bukan dari hasil pembahasan, pemikiran, dugaan ataupun taksiran belaka”.

“Man ‘Arafa Nafsahu, Faqad ‘Arafa Rabbahu.”

“Barangsiapa yang mengenal dirinya, maka sungguh dia akan mengenal Rabb (Tuhan)-Nya”.
Perkataan yang sangat popular dikalangan sufi dan Tasawuf,

Syaikh Al-Albani -rahimahullah- dalam Adh-Dha’ifah (1/165) berkata, “Hadith ini tidak ada asalnya” [Adh-Dha’ifah (1/165)]. An-Nawawi Rahimahullah berkata, “Hadith ini tidak tsabit (tidak shahih)”Al-Maqashid (198) oleh As-Sakhowiy].

As-Suyuthi Rahimahullah berkata, “Hadith ini tidak shahih” [Lihat Al-Qoul Asybah (2/351 Al-Hawi)].

Ringkasnya, hadith ini merupakan hadith palsu yang tidak ada asalnya. Oleh kerana itu, seorang muslim tidak boleh mengamalkannya, dan meyakininya sebagai sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

 
Celaan Imam-Imam Muktabar Gulungan  Tasawuf Dan Sufi


Celaan Al-Imam Malik rahimahullahu terhadap sufi

At-Tunisi mengatakan: Kami berada di sisi Al-Imam Malik, sedangkan murid-murid beliau di sekelilingnya. Seorang dari Nashibiyin berkata: “Di tempat kami ada satu kelompok disebut sufiyah. Mereka banyak makan, kemudian membaca qashidah dan berjoget.”
Al-Imam Malik berkata, “Apakah mereka anak-anak?”
Orang tadi menjawab, “Bukan.”
Beliau berkata, “Apakah mereka adalah orang-orang gila?”
Orang tadi berkata, “Bukan, mereka adalah orang-orang tua yang berakal.”
Al-Imam Malik berkata, “Aku tidak pernah mendengar seorang pemeluk Islam melakukan demikian.”

Celaan Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullahu terhadap sufiyah:

Sufiyah bukanlah pengikut Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullahu. Di antara buktinya adalah banyaknya celaan dari Al-Imam Asy-Syafi’i dan lainnya terhadap mereka.
Al-Imam Al-Baihaqi rahimahullah meriwayatkan dengan sanadnya sampai Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullahu: “Jika seorang belajar tasawuf di pagi hari, sebelum datang waktu zhuhur engkau akan dapati dia menjadi orang dungu.”
Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullah juga mengatakan, “Aku tidak pernah melihat seorang sufi yang berakal. Seorang yang telah bersama kaum sufiyah selama 40 hari, tidak mungkin kembali akalnya.”
Beliau juga berkata, “Asas (dasar sufiyah) adalah malas.” (Lihat Mukhalafatush Shufiyah lil Imam Asy-Syafi’i rahimahullahu hal. 13-15)
Beliau menamai sufiyah dengan kaum zindiq. Kata beliau rahimahullahu, “Kami tinggalkan Baghdad dalam keadaan orang-orang zindiq telah membuat-buat bid’ah yang mereka namakan sama’ (nyanyian sufi, ).”
Asy-Syaikh Jamil Zainu berkata, “Orang-orang zindiq yang dimaksud Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullahu adalah kaum sufiyah.” (Lihat Shufiyah fi Mizan Al-Kitabi was Sunnah)...
Celaan Al-Imam Ahmad rahimahullah terhadap sufiyah

Beliau ditanya tentang apa yang dilakukan sufiyah berupa nasyid-nasyid dan qashidah yang mereka namakan sama’. Beliau berkata, “Itu adalah muhdats (perkara baru yang diada-adakan dalam Islam).” Ditanyakan kepada beliau, “Apakah boleh kami duduk bersama mereka?” Beliau menjawab, “Janganlah kalian duduk bersama mereka.”
Beliau berkata tentang Harith Al-Muhasibi –dia adalah tokoh sufiyah–, “Aku tidak pernah mendengar pembicaraan tentang masalah hakikat sesuatu seperti yang diucapkannya. Namun aku tidak membolehkan engkau berteman dengannya.”...


Celaan Al-Imam Abu Zur’ah rahimahullah terhadap sufiyah

Al-Hafizh berkata dalam Tahdzib: Al-Bardza’i berkata, “Abu Zur’ah ditanya tentang Harith Al-Muhasibi dan kitab-kitabnya. Beliau berkata kepada penanya, ‘Hati-hati kamu dari kitab-kitab ini, kerana isinya kebid’ahan dan kesesatan. Engkau wajib berpegang dengan atsar, akan engkau dapati yang membuatmu tidak memerlukan apapun dari kitab-kitabnya’.”


Pengaruh Ilmu Laduni Membahayakan Umat

Kaum sufi dengan ilmu laduninya memiliki peranan sangat besar dalam merusak agama Islam yang mulia ini. Dengannya bermunculan akidah-akidah kufur –seperti diatas – dan juga amalan-amalan bid’ah. Selain dari itu, mereka secara langsung ataupun tidak langsung terlibat dalam kasus pembodohan umat. Kerana menuntut ilmu syar’i merupakan pantangan besar bagi kaum sufi. Berkata Al Junaidi: “Saya anjurkan kepada kaum sufi supaya tidak membaca dan tidak menulis, karena dengan begitu ia boleh lebih memusatkan hatinya. (Quutul Qulub 3/135)
Abu Sulaiman Ad Daraani berkata: “Jika seseorang menuntut ilmu hadith atau bersafar mencari nafkah atau menikah bererti ia telah condong kepada dunia”. (Al Futuhaat Al Makiyah 1/37)

Berkata Ibnul Jauzi:

“Seorang guru sufi ketika melihat muridnya memegang pena. Ia berkata: “Engkau telah merusak kehormatanmu.” (Tablis Iblis hal. 370)

Oleh kerana itu Al Imam Asy Syafi’i Rahimahullah berkata: “Ajaran tasawuf itu dibangun atas dasar rasa malas.” (Tablis Iblis:309)




Bukan sekadar melakukan tindakan pembodohan umat, sikap mereka  mengakibatkan pengjumudan umat. Dengan membahagi umat manusia menjadi tiga kasta yaitu: syariat, hakekat, dan ma’rifat, seperti Sidarta Budha Gautama membahagi manusia menjadi empat kasta. Sehingga seseorang yang masih pada tingkatan syari’at tidak boleh baginya menilai atau mengkritik seseorang yang telah mencapai tingkatan ma’rifat atau hakekat.

Na’uzubillah Min Dzalik
Wallahu’alam

Monday 30 May 2011

MAHUKAH KITA MENJADI ORANG YANG DIKEHENDAKI KEBAIKAN OLEH ALLAH?

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ


السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
الحمد لله، والصلاة والسلام على رسول الله
وبعد


MAHUKAH KITA MENJADI ORANG YANG DIKEHENDAKI KEBAIKAN OLEH ALLAH? 


By Zaidi Assalafy

Mu’awiyah bin Abi Sufyan radhiyallahu ‘anhuma suatu ketika berkhutbah di atas mimbar seraya berkata: Aku pernah mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ يُرِدِ اللهُ بِهِ خَيْراًَ يُفَقِّهْهُ فِي الدِّينِ

"Siapa yang Allah kehendaki kebaikan baginya, Allah akan memfaqihkannya (memahamkan) dalam agama.” [ HR.Bukhari dalam beberapa tempat pada kitab Shahih-nya (no.71, 3116, 7312) dan Muslim dalam kitab Shahih-nya (no. 1038)].

SYARAH HADITH DAN PENJELASANNYA :

Di antara manusia, ada yang Allah Subhanahu wa Ta’ala ketahui kebaikan di hatinya maka Allah berikan taufik kepadanya, dan di antara mereka ada yang Allah ketahui Keburukankan di hatinya maka Allah menghinakan dan merendahkannya.

Orang yang Allah Subhanahuwata’ala ketahui kebaikan di hatinya bererti Allah menginginkan kebaikan untuknya, dan bila Allah Subhanahuwata’ala  menghendaki kebaikan baginya, Allah faqihkan dia dalam agama-Nya dan Allah berikan padanya ilmu tentang syariat-Nya yang tidak diberikan kepada seorang pun dari manusia.
Hal ini menunjukkan sepantasnya manusia itu bersemangat dengan semangat yang tinggi dan bersungguh-sungguh untuk memahami/ mempelajari agama Allah, dikeranakan Allah Subhanahu wa Ta’ala apabila menghendaki terhadap sesuatu, Allah akan mempersiapkan sebab-sebab untuk mendapatkannya.

Dan di antara sebab seorang itu faqih dalam agama adalah dengan mempelajarinya dan bersungguh-sungguh untuk mencapai martabat yang mulia ini.
Kefaqihan dalam agama tidak sebatas hanya kepada pengilmuan saja tapi juga diiringi dengan pengamalan. Kerana itu bila seseorang mengetahui sesuatu dari syariat Allah akan tetapi ia tidak mengamalkannya maka dia bukanlah orang yang faqih, sampaipun seandainya ia menghafal kitab yang paling besar dalam ilmu fiqih (dan kitab-kitab lain dari cabang ilmu yang lain) dan memahaminya akan tetapi ia tidak mengamalkannya maka orang seperti ini tidaklah dinamakan faqih tapi dia hanya disebut qari (pembaca). Dengan demikian orang yang faqih adalah orang yang beramal dengan apa yang diilmuinya. Ia berilmu terlebih dahulu kemudian diikutkannya dengan amalannya. (Syarhu Riyadhish Shalihin, Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin, 3/497-498)

Sulaiman bin Khalaf Al-Baji rahimahullah berkata :
 “Pernyataan fiqh fid din menyatakan bahawa Allah menghendaki kebaikan pada hamba-hamba-Nya sehingga siapa yang Allah inginkan kebaikan padanya Allah faqihkan dia dalam agamanya. Adapun al-khair (kebaikan) yang disebutkan di dalam hadith (maknanya) adalah masuk al-jannah dan selamat dari api neraka. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

فَمَنْ زُحْزِحَ عَنِ النَّارِ وَ أُدْخِلَ الْجَنَّةَ فَقَدْ فَازَ

“Siapa yang dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam al-jannah maka sungguh ia beruntung.” (Ali ‘Imran: 185) (Al-Muntaqa Syarhul Muwaththa Malik, 7/209)

Dengan demikian orang yang tidak tafaqquh fid din yakni tidak mempelajari agama Islam (kaidah-kaidahnya) dan cabang-cabang ilmu yang berhubungan dengannya maka sungguh ia terhalang dari kebaikan yang diinginkan. Orang yang tidak mengetahui perkara-perkara agamanya, dia bukanlah seorang yang faqih (orang yang faham) dan bukan pula orang yang mencari pemahaman. Maka tepat sekali bila dikatakan kepadanya (bahawa dia adalah) orang yang tidak diinginkan kebaikan baginya (oleh Allah). Demikian pula di sini ada penerangan jelasnya keutamaan ahlul ilmi di atas seluruh manusia dan keutamaan tafaqquh fid din (belajar/ memahami agama) di atas seluruh ilmu (Fathul Bari, 1/207). Kerana dengan ilmu tersebut akan menuntun seseorang kepada taqwallah (bertakwa kepada Allah).” [Syarah Shahih Muslim, 7/128]

Asy-Syaikh Ibnu Uthaimin rahimahullah berkata:

“Fiqh fid din (Fiqih dalam agama) tidak sebatas fiqih hukum-hukum amaliyah yang dikhususkan oleh ahlul ilmi dengan istilah ilmu fiqih. Akan tetapi yang dimaksud di sini adalah ilmu tauhid, ushuluddin (pokok-pokok agama, keimanan) dan apa yang berkaitan dengan syariat Allah Subhanahu wa Ta'ala. Seandainya tidak ada nas-nas Al-Qur’an dan As-Sunnah tentang keutamaan ilmu kecuali dengan hadith ini saja, niscaya sudah mencukupi dan sempurna dalam memberi anjuran untuk menuntut ilmu syariat dan memahaminya.” (Kitabul Ilmi, hal. 15-16)