Monday 30 May 2011

MAHUKAH KITA MENJADI ORANG YANG DIKEHENDAKI KEBAIKAN OLEH ALLAH?

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ


السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
الحمد لله، والصلاة والسلام على رسول الله
وبعد


MAHUKAH KITA MENJADI ORANG YANG DIKEHENDAKI KEBAIKAN OLEH ALLAH? 


By Zaidi Assalafy

Mu’awiyah bin Abi Sufyan radhiyallahu ‘anhuma suatu ketika berkhutbah di atas mimbar seraya berkata: Aku pernah mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ يُرِدِ اللهُ بِهِ خَيْراًَ يُفَقِّهْهُ فِي الدِّينِ

"Siapa yang Allah kehendaki kebaikan baginya, Allah akan memfaqihkannya (memahamkan) dalam agama.” [ HR.Bukhari dalam beberapa tempat pada kitab Shahih-nya (no.71, 3116, 7312) dan Muslim dalam kitab Shahih-nya (no. 1038)].

SYARAH HADITH DAN PENJELASANNYA :

Di antara manusia, ada yang Allah Subhanahu wa Ta’ala ketahui kebaikan di hatinya maka Allah berikan taufik kepadanya, dan di antara mereka ada yang Allah ketahui Keburukankan di hatinya maka Allah menghinakan dan merendahkannya.

Orang yang Allah Subhanahuwata’ala ketahui kebaikan di hatinya bererti Allah menginginkan kebaikan untuknya, dan bila Allah Subhanahuwata’ala  menghendaki kebaikan baginya, Allah faqihkan dia dalam agama-Nya dan Allah berikan padanya ilmu tentang syariat-Nya yang tidak diberikan kepada seorang pun dari manusia.
Hal ini menunjukkan sepantasnya manusia itu bersemangat dengan semangat yang tinggi dan bersungguh-sungguh untuk memahami/ mempelajari agama Allah, dikeranakan Allah Subhanahu wa Ta’ala apabila menghendaki terhadap sesuatu, Allah akan mempersiapkan sebab-sebab untuk mendapatkannya.

Dan di antara sebab seorang itu faqih dalam agama adalah dengan mempelajarinya dan bersungguh-sungguh untuk mencapai martabat yang mulia ini.
Kefaqihan dalam agama tidak sebatas hanya kepada pengilmuan saja tapi juga diiringi dengan pengamalan. Kerana itu bila seseorang mengetahui sesuatu dari syariat Allah akan tetapi ia tidak mengamalkannya maka dia bukanlah orang yang faqih, sampaipun seandainya ia menghafal kitab yang paling besar dalam ilmu fiqih (dan kitab-kitab lain dari cabang ilmu yang lain) dan memahaminya akan tetapi ia tidak mengamalkannya maka orang seperti ini tidaklah dinamakan faqih tapi dia hanya disebut qari (pembaca). Dengan demikian orang yang faqih adalah orang yang beramal dengan apa yang diilmuinya. Ia berilmu terlebih dahulu kemudian diikutkannya dengan amalannya. (Syarhu Riyadhish Shalihin, Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin, 3/497-498)

Sulaiman bin Khalaf Al-Baji rahimahullah berkata :
 “Pernyataan fiqh fid din menyatakan bahawa Allah menghendaki kebaikan pada hamba-hamba-Nya sehingga siapa yang Allah inginkan kebaikan padanya Allah faqihkan dia dalam agamanya. Adapun al-khair (kebaikan) yang disebutkan di dalam hadith (maknanya) adalah masuk al-jannah dan selamat dari api neraka. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

فَمَنْ زُحْزِحَ عَنِ النَّارِ وَ أُدْخِلَ الْجَنَّةَ فَقَدْ فَازَ

“Siapa yang dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam al-jannah maka sungguh ia beruntung.” (Ali ‘Imran: 185) (Al-Muntaqa Syarhul Muwaththa Malik, 7/209)

Dengan demikian orang yang tidak tafaqquh fid din yakni tidak mempelajari agama Islam (kaidah-kaidahnya) dan cabang-cabang ilmu yang berhubungan dengannya maka sungguh ia terhalang dari kebaikan yang diinginkan. Orang yang tidak mengetahui perkara-perkara agamanya, dia bukanlah seorang yang faqih (orang yang faham) dan bukan pula orang yang mencari pemahaman. Maka tepat sekali bila dikatakan kepadanya (bahawa dia adalah) orang yang tidak diinginkan kebaikan baginya (oleh Allah). Demikian pula di sini ada penerangan jelasnya keutamaan ahlul ilmi di atas seluruh manusia dan keutamaan tafaqquh fid din (belajar/ memahami agama) di atas seluruh ilmu (Fathul Bari, 1/207). Kerana dengan ilmu tersebut akan menuntun seseorang kepada taqwallah (bertakwa kepada Allah).” [Syarah Shahih Muslim, 7/128]

Asy-Syaikh Ibnu Uthaimin rahimahullah berkata:

“Fiqh fid din (Fiqih dalam agama) tidak sebatas fiqih hukum-hukum amaliyah yang dikhususkan oleh ahlul ilmi dengan istilah ilmu fiqih. Akan tetapi yang dimaksud di sini adalah ilmu tauhid, ushuluddin (pokok-pokok agama, keimanan) dan apa yang berkaitan dengan syariat Allah Subhanahu wa Ta'ala. Seandainya tidak ada nas-nas Al-Qur’an dan As-Sunnah tentang keutamaan ilmu kecuali dengan hadith ini saja, niscaya sudah mencukupi dan sempurna dalam memberi anjuran untuk menuntut ilmu syariat dan memahaminya.” (Kitabul Ilmi, hal. 15-16)

No comments:

Post a Comment