Monday 12 December 2011

Pembahagian Tauhid Oleh Ulamak Salaf

PERKATAAN ULAMA SALAF TENTANG PEMBAHAGIAN TAUHID SEBELUM SYAIKHUL ISLAM IBN TAIMIYAH RAHIMAHULLAH





Berikut ini adalah perkataan ulama salaf sebelum zaman Ibnu Taimiyyah tentang pembahagian Tauhid.
AL-Imam Abu Hanifah an-Nu’man bin Tsabit w. 150H, berkata dalam kitab Fiqhul Absath hal 51:

“Allah
 تعالى itu diseru dengan sifat yang tinggi bukan dengan sifat rendahan, kerana sifat yang rendah bukanlah termasuk sifat Rububiyyah dan Uluhiyah sedikitpun”.

Ibnu Jarir Ath-Thabari w. 310H, berkata dalam tafsirnya terhadap firman Allah تعالى QS. Muhammad 19:

فَاعْلَمْ أَنَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَاسْتَغْفِرْ لِذَنبِكَ وَلِلْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ وَاللَّهُ يَعْلَمُ مُتَقَلَّبَكُمْ وَمَثْوَاكُمْ

“Maka ketahuilah wahai Muhammad, tidak ada sesembahan yang Haq atau layak bagi-Nya untuk disembah, dan tidak boleh bagimu dan bagi seluruh makhluk untuk menyembahnya kecuali Allah تعالى yang menciptakan para makhluk, Penguasa seluruh alam, yang segala sesuatu tunduk padanya dengan kekuasaan Rububiyyah-Nya”.

Imam Abu Ja’far Ath-Thohawi w. 321H, berkata dalam mukaddimah kitab Ath-Thohawiyyah:

“Kami katakan dengan penuh keyakinan –semoga Allah
 تعالى memberikan curahan taufiknya- dalam masalah pengesaan terhadap Allah تعالى : Allah itu maha Esa, tidak ada sekutu bagi-Nya, tidak ada sesuatu yang sepadan dengan-Nya, tidak ada sesuatupun yang mampu mengalahkan-Nya, dan tidak ada sesembahan yang haq melainka Dia”.

Imam Abu Hatim Muhammad bin Hibban Al-Busti w. 354H,

berkata dalam mukaddimah kitab Roudhotul Uqola’ wa Nuzhatul Fudholaa’:
“Segala puji bagi Allah Yang Maha Tunggal dalam ke-esaan Uluhiyyah-Nya, yang maha mulia dengan Rubbubiyyah-Nya, yang mengurusi segala yang hidup dengan ketentuan ajal…

Ibnu Abi Zaid Al-Qoirowani Al-Maliki w. 386H menyebutkan dalam kitab Aqidah-nya:

“Termasuk kedalamnya: Beriman dengan hati serta mengucapkan dengan lisan bahwa Allah adalah sesembahan yang Esa, tidak ada sesembahan selain-Nya, tidak ada yang serupa dan sebanding dengan-Nya, Dia tidak memiliki anak dan orang tua. Tidak ada pembantu dan sekutu, tidak ada permulaan dalam uluhiyyah-Nya, serta tidak ada penghabisan bagi yang selain-Nya. Tidak mungkin menjangkau kesempurnaan sifat sifat Allah dengan sekedar sifat sifat yang disebutkan oleh orang orang yang mensifatinya, dan kaum cendikiawan tidak akan boleh menjangkau urusan Allah dengan olah fikirnya”.
Sampai Beliau berkata: “Ingatlah Dia adalah Rabb para hamba dan Rabb dari perbuatan perbuatan mereka.

Berkata Al-Imam Abu Abdillah Ubaidullah bin Muhammad bin Baththah Al-‘Akbari w. 387H, dalam kitabnya Al-Ibanah ‘an Syariati Al-Firqahtin Najiyah wa Mujanibatil Firqatil Madzmumah:

“Sesungguhnya prinsip keimanan kepada Allah
 تعالى yang wajib diyakini oleh para makhluk dalam hal keimanan kepada-Nya ada tiga bahagian:
Pertama: Seseorang hamba harus meyakini Rabbaniyyah Allah. Yang demikian itu sebagai pemisah antara mazhab ahlul tha’thil yang tidak menetapkan adanya pencipta.
Kedua: Seorang hamba harus meyakini keesaan Allah. Hal ini untuk membezakan dengan mazhab pelaku syirik yang menetapkan adanya pencipta namun menyekutukan Allah dalam peribadatannya.
Ketiga: Dia harus meyakini bahwa Allah disifati dengan sifat sifat sebagaimana Allah mensifati diri-Nya, seperti Qudrah, hikmah, dan seluruh apa yang Dia sifatkan didalam kitab-Nya”.

Abu Bakr Muhammad bin Al-Walid Ath-Thurthusy w. 520H, dalam mukaddimah kitab Sirajul Muluk (1/7):

“Dan aku bersaksi bahawa sungguh bagi Allah sifat Rububiyyah dan Ke-Esaan, dan dengan apa apa yang Allah telah persaksikan bagi diri-Nya dan Nama nama-Nya baik dan sifat sifat-Nya yang maha tinggi serta sifat sifat-Nya yang maha sempurna”.

Abu  Abdillah Muhammad bin Ahmad Al-Qurthubi w. 671 berkata dalam tafsirnya (1/72):

“Maka Allah adalah nama yang menunjukkan keberadaan yang haq, terkandung didalam-Nya sifat sifat Ilahiyyah, yang bersifat dengan sifat Rububiyyah. Maha tunggal dengan keberadaan-Nya yang hakiki. Tidak ada sesemgahan yang haq melainkan Dia”.

Beliau juga berkata dalam tafsirnya (5/118):
“Dasar kesyirikan yang diharamkan adalah berkeyakinan adanya sekutu bagi Allah dalam Uluhiyyah-Nya, dan ini adalah kesyirikan yang terbesar, dan kesyirikan yang dilakukan oleh orang orang jahiliyyah. Bentuk kesyirikan yang lainnya adalah keyakinan adanya sekutu bagi Allah dalam perbuatan walaupun dia tidak meyakini ketuhanan hal tersebut, seperti perkataan orang: “Sesungguhnya selain Allah memungkinkan untuk mengadakan dan menciptakan dengan tanpa adanya keterkaitan”.


No comments:

Post a Comment