Saturday 28 May 2011

Bid’ah Hasanah Vs Sunnah Hasanah

Bid’ah Hasanah Vs Sunnah Hasanah

Kekeliruan setengah Pendapat yang mengatakan adanya bid’ah hasanah (Bid’ah yang baik) dalam Agama termasuk fitnah dan musibah terbesar dari berbagai macam fitnah dan musibah yang menimpa ummat ini. Bagaimana tidak, perkataan ini pada akhirnya akan menghalalkan semua bentuk bid’ah dalam agama yang pada gilirannya akan merubah syari’at-syari’at agama Allah Subhanahu wa Ta’ala yang telah dilengkapkan tatkala Dia mewafatkan NabiNya Shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam. Yang lebih celaka dan menjadikan mala petaka terbesar umat ini , fitnah ini telah memakan banyak korban tanpa pandang bulu, mulai dari orang awam yang kurang memahami tentang agama sehingga seorang yang dianggap tokoh agama yang telah meraih berbagai macam gelaran, baik secara rasmi mahupun yang tidak sehingga ada yang memegang jawatan Penting dalam Jabatan Agama-.dalam syari’at ilmu  Islam, semuanya berpendapat akan adanya bid’ah yang baik dalam Agama. Maka bertambah  buruknya nasib umat ini bila orang-orang yang membimbing mereka, yang mereka anggap tokoh agama berpendapat dengan pendapat ‘aneh’ seperti ini,
   انّا للہ و انّا الیہ راجعون

A.        Dalil-Dalil Tentang Buruk dan Tercelanya Semua Bentuk Bid’ah Tanpa Terkecuali.

Berikut beberapa dalil sam’iy (Al-Kitab dan AS-Sunnah) dan dalil akal yang menunjukkan akan buruk, tercela dan tertolaknya semua bentuk bid’ah :

1.    Hadith Jabir riwayat Muslim :

وَشَرُّ الْأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ

“Dan seburuk-buruk perkara adalah yang diada-adakan dan setiap bid’ah adalah sesat”.

2.    Hadits ‘Irbadh bin Sariyah :

وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الْأُمُورِ فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ

“Dan hati-hati kalian dari perkara yang diada-adakan kerana setiap yang diada-adakan adalah bid’ah dan setiap bid’ah adalah kesesatan”. (HR. Ashhabus Sunan kecuali An-Nasa`i)

Berkata Imam Ibnu Rajab rahimahullah dalam Jami’ul ‘Ulum wal Hikam : “Maka sabda beliau “semua bid’ah adalah kesesatan”, termasuk dari jawami’ul kalim yang tidak ada sesuatupun (bid’ah) yang terkecualikan darinya, dan hadith ini merupakan pokok yang sangat agung dalam agama”.

Dan berkata Al-Imam Asy-Syathiby rahimahullah dalam Al-I’tisham (1/187),
“Sesungguhnya dalil-dalil –bersamaan dengan banyaknya jumlahnya- datang secara mutlak dan umum, tidak ada sedikitpun perkecualian padanya selama-lamanya, dan tidaklah datang dalam dalil-dalil tersebut satu lafaz pun yang mengharuskan adanya di antara bid’ah-bid’ah itu yang merupakan petunjuk (hasanah), dan tidak ada dalam dalil-dalil tersebut penyebutan “semua bid’ah adalah kesesatan kecuali bid’ah ini, bid’ah ini, …”, dan tidak ada sedikitpun dari dalil-dalil tersebut yang menunjukan akan makna-makna ini (pengecualian)”.

3.    Hadith ‘A`isyah radhiyallahu ‘anha:

مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ فِيهِ فَهُوَ رَدٌّ

“Siapa saja yang mengadakan perkara baru dalam urusan kami ini apa-apa yang bukan darinya maka dia tertolak”. (HR. Al-Bukhari dan Muslim dari Aisyah)

Berkata Imam Asy-Syaukani dalam Nailul Authar (2/69) : “Hadith ini termasuk dari kaidah-kaidah agama kerana masuk didalamnya hukum-hukum tanpa ada pengecualian. Betapa jelas dan betapa menunjukkan akan batilnya pendapat sebagian fuqaha` (para ahli fiqhi) yang membahagi bid’ah menjadi beberapa jenis dan mengkhususkan tertolaknya bid’ah hanya pada sebahagian bentuknya tanpa ada dalil naql (Al-Kitab dan As-Sunnah) yang mengkhususkannya dan tidak pula dalil akal”.

4.    Ijma’ para ulama Salaf dari kalangan Sahabat, tabi’in dan para pengikut mereka dengan baik akan tercela dan buruknya semua bid’ah serta wajibnya memperingatkan kaum muslimin darinya dan dari para pelakunya.

B.        Penyebutan Syubhat-Syubhat Orang Yang Berpendapat Akan Adanya Bid’ah Hasanah Dalam Islam Beserta Bantahannya.

Di sini ulamak salaf akan menyebutkan tujuh syubhat terbesar yang biasa di gembar-gemburkan oleh orang-orang yang menyatakan adanya bid’ah hasanah dalam Islam, yang hakikat dari semua syubhat mereka adalah lebih lemah dari sarang laba-laba kerana syubhat-syubhat ini tidak lepas dari dua keadaan: Apakah dalilnya shahih tapi salah memahami ataukah sekadar perkataan para ulama yang telah diketahui bersama bahawa perkataan mereka bukanlah hujjah ketika menyelisihi dalil. Berikut penyebutan syubhat-syubhat mereka :
1.        Surah Al-Hadid ayat 27 :

وَرَهْبَانِيَّةً ابْتَدَعُوهَا مَا كَتَبْنَاهَا عَلَيْهِمْ إِلَّا ابْتِغَاءَ رِضْوَانِ اللَّهِ فَمَا رَعَوْهَا حَقَّ رِعَايَتِهَا

“Dan mereka mengada-adakan rahbaniyyah padahal Kami tidak mewajibkannya kepada mereka tetapi untuk mencari keridhaan Allah, lalu mereka tidak memeliharanya dengan pemeliharaan yang semestinya”.

Bantahan :

FirmanNya “tetapi untuk mencari keridhaan Allah” ada dua kemungkinan :

1.    Bila kembalinya kepada firmanNya “Dan mereka mengada-adakan rahbaniyyah”, maka ini bererti celaan buat mereka kerana mereka berbuat bid’ah dan memunculkan suatu peribadatan yang tidak pernah diwajibkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala atas mereka, kemudian bersamaan dengan itu mereka tidak memeliharanya dengan pemeliharaan yang semestinya.

2.    Bila kembalinya kepada firmanNya “padahal Kami tidak mewajibkannya kepada mereka”, maka menunjukkan bahwa mereka memunculkan suatu peribadatan baru yang disetujui oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala atas mereka. Akan tetapi ayat ini bercerita tentang syari’at umat sebelum kita (Nashara) dan syari’at umat sebelum kita –menurut pendapat yang paling kuat- bukanlah menjadi syari’at kita jika bertentangan dengan dalil yang datang dalam syari’at kita. Dan telah berlalu dalil-dalil yang sangat banyak akan larangan dan ancaman berbuat bid’ah dalam agama kita dan bahwa semua bentuk bid’ah adalah tertolak.
2.        Hadith Jarir bin ‘Abdillah Al-Bajaly radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam bersabda :

مَنْ سَنَّ فِي الْإِسْلَامِ سُنَّةً حَسَنَةً فَلَهُ أَجْرُهَا وَأَجْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا بَعْدَهُ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أُجُورِهِمْ شَيْءٌ وَمَنْ سَنَّ فِي الْإِسْلَامِ سُنَّةً سَيِّئَةً كَانَ عَلَيْهِ وِزْرُهَا وَوِزْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا مِنْ بَعْدِهِ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَيْءٌ

“Barangsiapa yang membuat sunnah dalam Islam sunnah yang baik maka baginya pahalanya dan pahala semua orang yang mengamalkannya setelahnya tanpa mengurangi dari pahala mereka sedikitpun, dan barangsiapa yang membuat sunnah dalam Islam sunnah yang buruk maka atasnya dosanya dan dosa semua orang yang mengamalkannya setelahnya tanpa mengurangi dari dosa mereka sedikitpun”. (HR. Muslim)

Dari hadith di atas mereka mengeluarkan pendalilan, kalau begitu bid’ah –sebagaimana sunnah- juga terbagi menjadi dua ; ada yang baik dan ada yang buruk.

Bantahan:

1.    Sesungguhnya makna sabda beliau “Barangsiapa yang membuat sunnah” adalah “barangsiapa yang mengamalkan sunnah” bukan maknanya “barangsiapa yang membuat syari’at (sunnah) yang baru”, hal ini sebagaimana ditunjukkan oleh sababul wurud  (sebab terucapkannya) hadith ini dalam riwayat Muslim (no. 1017), yang ringkasnya : Bahwa sekelompok orang dari Bani Mudhar datang ke Medinah dan nampak dari keadaan mereka kemiskinan dan kesusahan, lalu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam memberikan motovasi kepada para sahabat untuk bersedekah. Maka datanglah seorang lelaki dari Al-Anshar dengan membawa makanan yang hampir-hampir tangannya tidak mampu untuk mengangkatnya, setelah itu ramailah para sahabat yang lain mengikutinya juga untuk memberikan sedekah lalu beliaupun mengucapkan hadith di atas.
Maka dari kisah ini jelas menunjukkan bahawa yang diinginkan dalam hadith adalah “Barangsiapa yang beramal dengan amalan yang tsabit dari sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam …”, kerana sedekah bukanlah perkara bid’ah akan tetapi sunnah dari sunnah beliau Shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam.

2.    Beliau Shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam mensifati “sunnah” dalam hadith ini dengan “yang baik” dan “yang buruk”, dan sifat seperti ini (baik dan buruk) tidak mungkin diketahui kecuali dari sisi syari’at. Maka hal ini mengharuskan bahwa kata “sunnah” dalam hadith maksudnya adalah amalan yang punya asal dari sisi syari’at, apakah baik ataupun buruk, sedangkan bid’ah adalah amalan yang sama sekali tidak memiliki asal dalam syari’at.

3.    Tidak dinukil dari seorangpun dari kalangan para ulama Salaf yang menafsirkan sunnah yang hasanah dalam hadith ini adalah bid’ah yang dimunculkan oleh manusia.
3.        Hadith ‘Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam –menurut sangkaan mereka- bersabda :

فَمَا رَأَى الْمُسْلِمُونَ حَسَنًا فَهُوَ عِنْدَ اللَّهِ حَسَنٌ وَمَا رَأَوْا سَيِّئًا فَهُوَ عِنْدَ اللَّهِ سَيِّئٌ

“Maka perkara apa saja yang kaum muslimin menganggapnya baik maka itu juga baik di sisi Allah dan perkara apa saja yang mereka anggap buruk maka itu buruk di sisi Allah”.

Mereka mengatakan : “Maka bila suatu bid’ah dianggap baik oleh kaum muslimin di zaman ini maka bererti bid’ah itu baik juga di sisi Allah”.

Bantahan:

1.    Hadith ini tidak shahih secara marfu’ dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam, akan tetapi yang benarnya ini adalah mauquf dari perkataan Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu. Berikut perkataan sebagian ulama tentang hal ini :
·    Berkata Ibnul Qayyim rahimahullah dalam kitab Al-Farusiah (hal. 167) :
 “Sesungguhnya atsar ini bukan dari sabda Rasullah Shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam, dan tidak ada seorangpun yang menjadikan perkataan ini sebagai sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam kecuali orang yang tidak memiliki ilmu tentang hadith, yang benarnya perkataan ini hanya tsabit dari perkataan Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu”.
·    Berkata Ibnu ‘Abdil Hadi sebagaimana dalam Kasyful Khafa` (2/245) : “Diriwayatkan secara marfu’ dari hadith Anas dengan sanad yang saqit (jatuh/sangat lemah) dan yang benarnya ini adalah mauquf dari perkataan Ibnu Mas’ud radhiallahu ‘anhu”.

2.    Yang diinginkan oleh Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu dengan perkataan beliau “kaum muslimin” dalam hadith ini adalah mereka para sahabat radhiallahu ‘anhum, kerana “Al” dalam kata “al-muslimun” hadith ini bermakna lil ‘ahd adz-dzihni (yang langsung terfahami oleh fikiran ketika membaca hadith ini), sehingga makna hadithnya adalah “Perkara apa saja yang kaum muslimin yang ada di zaman itu …”. Hal ini ditunjukkan oleh potongan awal hadith ini :

إِنَّ اللَّهَ نَظَرَ فِي قُلُوبِ الْعِبَادِ فَوَجَدَ قَلْبَ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَيْرَ قُلُوبِ الْعِبَادِ فَاصْطَفَاهُ لِنَفْسِهِ فَابْتَعَثَهُ بِرِسَالَتِهِ ثُمَّ نَظَرَ فِي قُلُوبِ الْعِبَادِ بَعْدَ قَلْبِ مُحَمَّدٍ فَوَجَدَ قُلُوبَ أَصْحَابِهِ خَيْرَ قُلُوبِ الْعِبَادِ فَجَعَلَهُمْ وُزَرَاءَ نَبِيِّهِ يُقَاتِلُونَ عَلَى دِينِهِ

“Sesungguhnya Allah melihat ke hati para hambaNya dan Dia mendapati hati Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam adalah sebaik-baik di antara hati-hati para hamba maka Diapun memilihnya untuk diriNya dan mengutusnya dengan risalahNya. Kemudian Allah melihat lagi ke  hati para hamba setelah hati Muhammad dan Dia mendapati hati para shahabat adalah sebaik-baik hati para hamba maka Diapun menjadikan mereka sebagai pembantu-pembantu NabiNya yang mereka itu berperang dalam agamaNya. Maka apa-apa yang dianggap baik oleh kaum muslimin maka hal itu baik di sisi Allah dan apa-apa yang buruk menurut kaum muslimin maka hal itu buruk di sisi Allah”.

Ini menunjukkan bahwa kaum muslimin yang diinginkan di akhir hadith adalah mereka yang disebutkan di awal hadith.

3.    Bagaimana mungkin mereka berdalil dengan perkataan shahabat yang mulia ini untuk menganggap suatu bid’ah, padahal beliau radhiyallahu ‘anhu adalah termasuk dari para sahabat yang paling keras melarang dan mentahdzir dari semua bentuk bid’ah?!, dan telah berlalu sebahagian dari perkataan beliau radhiyallahu ‘anhu.

4.    Kalau hadith ini diterima dan maknanya seperti apa yang hawa nafsu kalian inginkan, maka ini akan membuka pintu yang sangat berbahaya untuk berubahnya agama. Kerana setiap pelaku bid’ah akan bersegera membuat bid’ah yang bentuknya disukai dan sesuai dengan selera manusia, dan ketika dilarang diapun berdalilkan dengan hadith di atas, Wallahul musta’an.
4.        Dalil mereka selanjutnya adalah perkataan ‘Umar bin Khaththab radhiallahu ‘anhu yang masyhur tentang solat Tarawikh secara berjama’ah di malam bulan Ramadan :

نِعْمَتِ الْبِدْعَةُ هَذِهِ

“Sebaik-baik bid’ah adalah ini”. (HR. Al-Bukhari)

Mereka berkata : “Kalau begitu ada bid’ah yang baik dalam Islam”.

Bantahan:

1.    Perbuatan ‘Umar radhiyallahu ‘anhu dengan cara mengumpulkan manusia untuk melaksanakan Tarawih dengan dipimpin oleh imam bukanlah bid’ah, akan tetapi sebagai bentuk menampakkan dan menghidupkan sunnah. Kerana Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam telah melaksanakan Tarawih ini dengan mengimami manusia pada malam 23, 25 dan 27 Ramadan, tapi tatkala banyak manusia yang ikut solat di belakang beliau, beliaupun meninggalkan pelaksanaannya kerana takut turun wahyu yang mewajibkan solat Tarawih sehingga akan menyusahkan umatnya sebagaimana yang disebutkan kisahnya oleh Imam Al-Buhkari dalam Shahihnya (no. 1129). Maka tatkala Nabi Shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam wafat dan hilang kemungkinan solat Tarawih menjadi wajib dengan terputusnya wahyu sehingga solat Tarawih ini tetap pada hukum asalnya yaitu sunnah, maka ‘Umar radhiyallahu ‘anhu lalu mengumpulkan manusia untuk melaksanakan solat Tarawih secara berjama’ah.

2.    Sesungguhnya ‘Umar radhiallahu ‘anhu tidak memaksudkan dengan perkataan beliau ini akan adanya bid’ah yang baik, kerana yang beliau inginkan dengan “bid’ah” di sini adalah makna secara bahasa bukan makna secara syari’at, dan ini beliau katakan kerana melihat keadaan zahir dari solat tarwih tersebut yaitu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam meninggalkan pelaksanaan solat tarawih setelah sebelumnya beliau melaksanakannya kerana takut akan diwajibkannya solat Tarawih ini atas umatnya.
Kalau ada yang bertanya : “Kalau memang beliau Shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam tinggalkan kerana takut diwajibkan, lantas kenapa Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu tidak melakukan apa yang dilakukan ‘Umar radhiyallahu ‘anhu, padahal kemungkinan jadi wajibnya solat Tarawih juga telah terputus di zaman Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu dengan wafatnya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam?”.
Maka kami jawab : “Tidak adanya pelaksanaan Tarawih berjama’ah di zaman Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu tidak keluar dari dua alasan berikut :

a.    Kerana beliau radhiyallahu ‘anhu berpendapat bahwa solatnya manusia di akhir malam dengan keadaan mereka ketika itu lebih afdhal daripada mengumpulkan mereka di belakang satu imam (berjama’ah) di awal malam, ini disebutkan oleh Imam Ath-Thurthusy rahimahullah.

b.    Kerana sempitnya masa pemerintahan beliau (hanya 2 tahun) untuk melihat kepada perkara furu’ (cabang) seperti ini, bersamaan sibuknya beliau mengurus masalah banyaknya orang yang  murtad dan ingin menyerang Madinah ketika Nabi Shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam wafat dan masalah-masalah yang lain yang lebih penting dan lebih darurat dilaksanakan dibandingkan solat tarawih, ini disebutkan oleh Asy-Syathibi rahimahullah.
Maka tatkala solat Tarawih berjama’ah satu bulan penuh tidak pernah dilakukan di zaman Nabi Shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam, tidak pula di zaman Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu dan tidak pula di awal pemerintahan ‘Umar radhiyallahu ‘anhu, maka solat Tarawih dengan model seperti ini (berjama’ah satu bulan penuh) dianggap bid’ah tapi dari sisi bahasa, yakni tidak ada contoh yang mendahuluinya. Adapun kalau dikatakan bid’ah secara syari’at maka tidak, kerana sholat Tarawih dengan model seperti ini mempunyai asal landasan dalam syari’at yaitu beliau Shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam pernah bersolat Tarawih secara berjama’ah pada malam 23, 25 dan 27 Ramadan, dan beliau meninggalkannya hanya kerana takut akan diwajibkan atas umatnya, bukan kerana alasan yang lain, Wallahu a’lam.

 Berkata Imam Asy-Syathibi dalam Al-I’tisham (1/250) : “Maka siapa yang menamakannya (solat Tarawih berjama’ah satu bulan penuh) sebagai bid’ah kerana dilihat dari sisi ini (yakni tidak pernah dilakukan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam walaupun memiliki asal dalam syari’at) maka tidak ada paksaan dalam masalah penamaan. Akan tetapi dalam keadaan seperti itu, maka tidak boleh berdalilkan dengannya (perkataan ‘Umar ini) akan bolehnya berbuat bid’ah dengan makna versi sang pembicara (yakni ‘Umar radhiyallahu ‘anhu), kerana ini adalah suatu bentuk pemalingan makna perkataan dari tempat sebenarnya”.
Berkata Syaikhul Islam rahimahullah dalam Al-Iqthidha` Ash-Shirathal Mustaqim (hal. 276 –Darul Fikr) :
“Dan yang paling banyak (didengang-dengungkan) dalam masalah ini adalah kisah penamaan ‘Umar radhiyallahu ‘anhu terhadap solat Tarawih bahwa itu adalah bid’ah bersamaan dengan baiknya amalan tersebut. Ini adalah penamaan secara bahasa bukan penamaan secara syari’at, hal itu dikeranakan bid’ah secara bahasa adalah mencakup semua perkara yang diperbuat pertama kali dan tidak ada contoh yang mendahuluinya sedangkan bid’ah secara syari’at adalah semua amalan yang tidak ditunjukkan oleh dalil syar’ie.
Maka jika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam memberikan pernyataan yang beliau telah menunjukkan akan sunnahnya atau wajibnya suatu amalan setelah wafatnya beliau atau ada dalil yang menunjukkannya secara mutlak dan amalan tersebut tidak pernah diamalkan kecuali setelah wafatnya beliau, seperti pengadaan buku sedekah yang dikeluarkan oleh Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu, maka jika seseorang mengamalkan amalan tersebut setelah wafatnya beliau maka syah kalau dikatakan bid’ah tapi secara bahasa kerana itu adalah amalan yang belum pernah dilakukan”.

3.    Sesungguhnya para shahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam dan para ulama salaf setelah mereka telah bersepakat menerima dan mengamalkan apa yang dilakukan oleh ‘Umar radhiyallahu ‘anhu dan tidak pernah dinukil dari seorangpun di antara mereka ada yang menyelisihinya. Ini ertinya perbuatan beliau adalah kebenaran dan termasuk syari’at, kerana Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam telah menegaskan :

لَنْ تَجْتَمِعَ أُمَّتِيْ عَلَى ضَلاَلَةٍ

“Ummatku tidak akan bersepakat di atas suatu kesesatan”. (HR. At-Tirmizi)

Dan masih ada beberapa dalil yang lain yang tidak kami sebutkan di sini kerana dalil-dalil tersebut hanyalah berupa perkataan dan ijtihad seorang ulama, yang kalaupun dianggap bahawa para ulama tersebut menyatakan seperti apa yang mereka katakan berupa adanya bid’ah yang baik dalam Islam, maka ucapan dan ijtihad mereka harus dibuang jauh-jauh kerana menyelisihi hadith-hadith Nabi Shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam, wallahu A’lam.

Kesimpulan dari masalah ini adalah bahawa setiap perkara yang dianggap oleh sebahagian ulama ataupun orang-orang yang jahil bahawa itu adalah bid’ah hasanah maka perkara tersebut tidak lepas dari dua keadaan :

1.    Perkara itu bukanlah suatu bid’ah akan tetapi disangka bid’ah.
2.    Perkara itu adalah bid’ah dan kesesatan akan tetapi dia tidak mengetahui akan kesesatan dan kejelekannya.
Ucapan Al Imam Asy Syafi’i Rahimahullah :

Menurut riwayat Abu Nu’im, Imam Syafi’i pernah berkata, ““Bid’ah itu dua macam, satu bid’ah terpuji dan yang lain bid’ah tercela. Bid’ah terpuji ialah (pekerjaan keagamaan yang tidak dikenal pada zaman Rasulullah) yang sesuai dengan sunnah, sedangkan bid’ah yang tercela ialah (pekerjaan keagamaan yang tidak dikenal pada zaman Rasulullah) yang tidak sesuai dengan sunnah atau menentang sunnah.” [Fathul Bari juz' 17 hlm. 10]

Beliau mengatakan : “Bid’ah terpuji ialah yang sesuai dengan sunnah, sedangkan bid’ah yang tercela ialah yang tidak sesuai dengan sunnah atau menentang sunnah.”
Padahal bid’ah itu lawannya As Sunnah, sehingga sesuatu yang sesuai dengan As Sunnah itu bukan bid’ah, sedangkan beliau menyebutkan sebagai bid’ah ini sebagai dalil bahwa beliau berbicara dari sisi bahasa.


No comments:

Post a Comment