Monday, 6 June 2011

Islam Tidak Menyuruh Dakwah Kepada Kekuasaan Negara, Namun Menyuruh Dakwah Kepada Tauhid (Bahagian 1)



Syaikh Abdul Malik Ramadhani Al Jazairi
(Bahagian 1)

Ikhlas merupakan pokok agama dan inti seluruh ajaran Islam. Pokok yang dimaksud adalah ajaran Tauhid yang menjadi tujuan Allah mengutus para rasul-Nya dan menurunkan kitab-kitab-Nya. Kepada ajaran tauhid ini pula para Nabi ‘alaihimus shalatu wassalaam menyeru umat manusia, bersungguh-sungguh memperjuangkan, memerintahkan dan mengajak manusia berpegang teguh dengannya. Allah Ta’ala berfirman:

إِنَّا أَنْزَلْنَا إِلَيْكَ الْكِتَابَ بِالْحَقِّ فَاعْبُدِ اللَّهَ مُخْلِصًا لَهُ الدِّينَ. أَلا لِلَّهِ الدِّينُ الْخَالِصُ

“Sesungguhnya Kami menurunkan kepadamu Kitab (Al Qur’an) dengan (membawa) kebenaran. Maka sembahlah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya. Ingatlah, hanya kepunyaan Allah-lah agama yang bersih (dari syirik).” (QS Az Zumar: 2-3)

Dan firman Allah Ta’ala:

وَمَا أُمِرُوا إِلا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاءَ وَيُقِيمُوا الصَّلاةَ وَيُؤْتُوا الزَّكَاةَ وَذَلِكَ دِينُ الْقَيِّمَةِ

“Padahal mereka tidak disuruh, kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama dengan lurus dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat Demikian itulah agama yang lurus.” (QS.Al Bayyinah: 5)

Allah berkata kepada Nabi-Nya Shallallahu’alaihi wasallam:

قُلِ اللَّهَ أَعْبُدُ مُخْلِصًا لَهُ دِينِي. فَاعْبُدُوا مَا شِئْتُمْ مِنْ دُونِهِ

“Katakanlah: ‘Hanya Allah saja yang aku sembah dengan memumikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama-ku.’ Maka sembahlah olehmu (Hai orang-orang musyrik) apa yang kamu kehendaki selain Dia.” (QS. Az Zumar: 14-15)

Allah Subhanahu waTa’ala berfirman:

قُلْ إِنَّ صَلاتِي وَنُسُكِي وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِي لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ. شَرِيكَ لَهُ وَبِذَلِكَ أُمِرْتُ وَأَنَا أَوَّلُ الْمُسْلِمِينَ

“Katakanlah: ‘Sesungguhnya shalatku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah Tuhan semesta alam tiada sekutu bagi-Nya. Demikian itulah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tama menyerahkan diri (kepada Allah).” (QS. Al An’am: 162-163)

Jadi, tauhid ini kedudukannya seperti asas bangunan. Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata:
“Barangsiapa ingin membuat bangunan yang tinggi menjulang maka dia harus mengukuhkan asasnya, membuat dengan tepat serta memperhatikan betul-betul kekuatannya. Kerana sesungguhnya bangunan yang tinggi memerlukan asas yang kuat dan kukuh. Amal perbuatan serta derajat kemuliaan manusia adalah sebuah bangunan sedangkan asasnya adalah iman.”

Orang yang arif tentu memperhatikan kekuatan asas bangunan. Sedangkan orang yang bodoh, dia akan meninggikan bangunan tanpa asas yang kukuh dan kuat. Kerana itu bangunannya tidak lama pasti akan roboh.
Allah Ta’ala berfirman:

أَفَمَنْ أَسَّسَ بُنْيَانَهُ عَلَى تَقْوَى مِنَ اللَّهِ وَرِضْوَانٍ خَيْرٌ أَمْ مَنْ أَسَّسَ بُنْيَانَهُ عَلَى شَفَا جُرُفٍ هَارٍ فَانْهَارَ بِهِ فِي نَارِ جَهَنَّمَ وَاللَّهُ لا يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ

“Maka apakah orang-orang yang mendirikan masjidnya di atas dasar takwa kepada Allah dan keridhaannya itu yang baik, ataukah orang-orang yang mendirikan bangunannya di tepi jurang yang runtuh lalu bangunannya jatuh bersama-sama dia ke dalam neraka jahannam.” (QS.At Taubah: 109) [Al Fawaid hal. 204]

 “Ayat ini turun berkenaan dengan orang-orang munafik yang membangun masjid, akan tetapi amalan yang besar serta mulia ini kosong dari keikhlasan sehingga tidak memberi manfaat bagi mereka sedikitpun, bahkan bangunannya runtuh bersama mereka ke dalam neraka Jahannam.”

Imam Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan:
“Asas agama kita ada Dua, yaitu,
Pertama: Mengenal Allah, perintah-Nya, nama-nama-Nya, dan sifat-sifat-Nya dengan benar.
Kedua: Memumikan ketundukan kepada-Nya dan kepada Rasul-Nya, tidak kepada yang lainnya.”

Jadi, tauhid adalah asas bagi seseorang yang hendak membuat bangunan tinggi. Kerana itu, kukuhkanlah asas kalian, jagalah kekuatannya dan teruslah memeliharanya.” [Al Fawaid hal. 204]

Tauhid bagaikan benih sebatang pohon. Ibnul Qayyim rahimahullah dalam kitab Badaa’iul Fawaa’id dalam tema Syajaratul Ikhlaash (Pohon Keikhlasan) menjelaskan:

“Tahun itu bagaikan sebatang pohon, bulan-bulannya adalah dahan, hari-harinya adalah ranting, jam-jamnya adalah daun, dan nafas (detak jantung) adalah buahnya. Barangsiapa yang waktu-waktunya diisi dengan ketaatan, maka buah dari pohon yang ia miliki akan baik. Akan tetapi barangsiapa yang waktu-waktunya dihabiskan dalam kemaksiatan maka pohonnya akan berbuah pahit. Hanya saja untuk mengetahui buah mana yang manis atau pahit dapat diketahui pada musim memetik ketika semua buah dipetik, yaitu pada hari yang dijanjikan (kiamat). Ikhlas dan tauhid bagaikan sebatang pohon di dalam hati manusia, dahannya adalah amal perbuatan, sedang buahnya adalah kehidupan yang bahagia di dunia dan kenikmatan yang abadi di akhirat. Sebagaimana pohon yang ada dalam syurga yang terus berbuah, tak pernah berhenti, juga tidak terlarang diambil, buah dari pohon tauhid dan ikhlas di dunia ini demikian pula; tidak pernah terputus buahnya dan tidak pernah terlarang dinikmati.

Beliau melanjutkan: “Syirik, dusta, dan riya’ adalah juga pohon di dalam hati manusia. Buahnya di dunia ini adalah rasa takut, kegelisahan, kesempitan hati, dan gelapnya hati. Sedangkan buahnya di akhirat adalah zaqqum (makanan ahli neraka) dan azab yang kekal. Kedua pohon inilah yang disebutkan Allah Subhanahu waTa’ala di dalam Al Qur’an surat Ibrahim." [AI Fawaid hal. 214]

 “Yang dimaksud adalah firman Allah Ta’ala,
Tidakkah kamu perhatikan bagaimana Allah telah membuat perumpamaan kalimat yang baik seperti pohon yang baik, akarnya teguh dan cabangnya (menjulang) ke langit,
أَلَمْ تَرَ كَيْفَ ضَرَبَ اللَّهُ مَثَلا كَلِمَةً طَيِّبَةً كَشَجَرَةٍ طَيِّبَةٍ أَصْلُهَا ثَابِتٌ وَفَرْعُهَا فِي السَّمَاءِ
pohon itu memberikan buahnya pada setiap musim dengan seizin Tuhannya. Allah membuat perumpamaan-perumpamaan itu untuk manusia supaya mereka selalu ingat.
تُؤْتِي أُكُلَهَا كُلَّ حِينٍ بِإِذْنِ رَبِّهَا وَيَضْرِبُ اللَّهُ الأمْثَالَ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَذَكَّرُونَ
Dan perumpamaan kalimat yang buruk seperti pohon yang buruk, yang telah dicabut dengan akar-akarnya dari permukaan bumi; tidak dapat tetap (tegak) sedikit pun.
وَمَثَلُ كَلِمَةٍ خَبِيثَةٍ كَشَجَرَةٍ خَبِيثَةٍ اجْتُثَّتْ مِنْ فَوْقِ الأرْضِ مَا لَهَا مِنْ قَرَارٍ
Allah meneguhkan (iman) orang-orang yang beriman dengan ucapan yang teguh itu dalam kehidupan di dunia dan di akhirat; dan Allah menyesatkan orang-orang yang lalim dan memperbuat apa yang Dia kehendaki.
يُثَبِّتُ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا بِالْقَوْلِ الثَّابِتِ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَفِي الآخِرَةِ وَيُضِلُّ اللَّهُ الظَّالِمِينَ وَيَفْعَلُ اللَّهُ مَا يَشَاءُ
(QS. Ibrahim: 24-27)

Ayat ini menjadi dalil yang sangat jelas bahwa perbaikan itu dimulai dengan tauhid dan diakhiri dengan tauhid pula dan di antara awal dan akhirnya pun harus dipenuhi dengan tauhid. Kerana tauhid merupakan asas dari sebuah bangunan atau akar dari sebatang pohon maka seharusnya manusia merenung dan menyimak tatkala membuka Al Qur’an, maksudnya adalah firman Allah Ta’ala:

يَا أَيُّهَا النَّاسُ اعْبُدُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ وَالَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ

“Hai manusia sembahlah Rabbmu yang telah menciptakanmu dan orang-orang sebelum kamu, agar kamu bertakwa.” (QS. Al Baqarah: 21)

Al ‘Alaamah Hammad bin Muhammad Al Anshary -rahimahullah- yang menyebutkan keutamaan besar ini.
Setelah ayat di atas, diteruskan dengan memperhatikan larangan berbuat sesuatu yang bertentangan dengan tauhid ini yaitu perbuatan syirik. Yakni firman Allah Ta’ala:

فَلا تَجْعَلُوا لِلَّهِ أَنْدَادًا وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ

“Maka jangan sekali-kali kamu menjadikan sekutu-sekutu bagi Allah sedangkan kamu mengetahui.” (QS Al Baqarah: 22)

Di sini terdapat satu hikmah yang besar sekali. Allah Subhanahu waTa’ala tidak hanya memerintahkan kepada kita untuk semata-mata beribadah kepada-Nya, akan tetapi Dia juga melarang kita dari hal yang boleh membatalkan ibadah itu yakni beribadah kepada selain-Nya. Kerana itu, jika kita melihat kembali kepada Al Qur’an niscaya kita akan menemukan di dalamnya satu hukum (yang saling berhubungan erat) antara satu dengan vang lain. Perhatikanlah firman Allah Ta’ala berikut ini:

وَإِلَهُكُمْ إِلَهٌ وَاحِدٌ لا إِلَهَ إِلا هُوَ الرَّحْمَنُ الرَّحِيمُ

“Dan Tuhanmu adalah Tuhan Yang Maha Esa; tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia, Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang” (QS. Al Baqarah: 163)

Dan firman-Nya:

وَلَقَدْ بَعَثْنَا فِي كُلِّ أُمَّةٍ رَسُولا أَنِ اعْبُدُوا اللَّهَ وَاجْتَنِبُوا الطَّاغُوتَ

“Dan sungguh telah Kami utus pada setiap umat seorang rasul (yang memerintahkan): ‘Sembahlah Allah dan jauhilah Thoghut.’” (QS. An Nahl: 36)

Juga firman-Nya:

وَمَا أَرْسَلْنَا مِنْ قَبْلِكَ مِنْ رَسُولٍ إِلا نُوحِي إِلَيْهِ أَنَّهُ لا إِلَهَ إِلا أَنَا فَاعْبُدُونِ

“Dan Kami tidak mengutus sebelum engkau (wahai Muhammad) seorang rasul pun, melainkan Kami wahyukan kepadanya: ‘Tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Aku, maka sembahlah Aku.’” (QS. Al Anbiya: 25)

Dan firman-Nya:

وَاعْبُدُوا اللَّهَ وَلا تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا

“Dan sembahlah Allah dan janganlah sekali-kali kalian menyekutukan-Nya dengan sesuatu apapun.”(QS. An Nisa: 36)

Syaikh Mubarak Al Maili -ketua Ikatan Ulama Muslimin Aljazair- berkata: “Seseorang tidak cukup jika hanya menyatakan tauhid dengan dua kalimat syahadat saja, tapi ia harus pula menafikan penyembahan kepada banyak ilah dan berhukum hanya kepada orang yang diutus oleh Allah saja (yakni Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam). Syirik adalah perbuatan haram yang pertama kali Allah larang, sebagaimana disebutkan dalam firman-Nya jalla wa ‘ala:

قُلْ تَعَالَوْا أَتْلُ مَا حَرَّمَ رَبُّكُمْ عَلَيْكُمْ أَلا تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا

“Katakanlah:’ Marilah aku bacakan apa-apa yang diharamkan kepada kalian oleh Rabb kalian (yakni) janganlah kalian menyekutukan-Nya dengan sesuatu apapun.’” (QS. Al An’am: 151) [Risalah Asy Syirki wa mazhahiruhu hal. 20]

Larangan syirik juga merupakan wasiat yang pertama kali diberikan Luqman kepada anak-anaknya:

يَا بُنَيَّ لا تُشْرِكْ بِاللَّهِ إِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيمٌ

“Wahai anakku, janganlah kalian menyekutukan Allah. Sesungguhnya kesyirikan itu adalah kezaliman yang besar.” (QS  Luqman: 13)

Akan tetapi perhatian dan kepentingan setiap manusia itu berbeza-beza. Wasiat biasanya baru disampaikan tatkala ruh telah sampai di kerongkongan, yaitu ketika seseorang sakaratul maut. Di antara mereka ada yang mewasiatkan kepada isterinya untuk menjaga harta yang akan ditinggalkannya. Ada yang berwasiat kepada orang yang dicintainya agar kedudukan dan kekuasaannya tetap dipelihara dan dipertahankan. Ada juga yang mewasiatkan kepada anak-anaknya agar selalu menjaga hubungan baik dengan saudara-saudaranya. Akan tetapi, sebaik-baik wasiat seorang hamba adalah wasiat untuk senantiasa beribadah hanya kepada Allah (tauhid), kerana; itulah wasiat para nabi dan rasul kala mereka hendak menghadap Allah Tabaroka waTa’ala dan meninggalkan dunia yang fana ini.
Allah Ta’ala berfirman:

Dan Ibrahim telah mewasiatkan ucapan itu kepada anak-anaknya, demikian pula Yakub. (Ibrahim berkata): “Hai anak-anakku! Sesungguhnya Allah telah memilih agama ini bagimu, maka janganlah kamu mati kecuali dalam memeluk agama Islam”.
وَوَصَّى بِهَا إِبْرَاهِيمُ بَنِيهِ وَيَعْقُوبُ يَا بَنِيَّ إِنَّ اللَّهَ اصْطَفَى لَكُمُ الدِّينَ فَلا تَمُوتُنَّ إِلا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ
Adakah kamu hadir ketika Yakub kedatangan (tanda-tanda) maut, ketika ia berkata kepada anak-anaknya: “Apa yang kamu sembah sepeninggalku?” Mereka menjawab: “Kami akan menyembah Tuhanmu dan Tuhan nenek moyangmu, Ibrahim, Ismail dan Ishak, (yaitu) Tuhan Yang Maha Esa dan kami hanya tunduk patuh kepada-Nya.”
أَمْ كُنْتُمْ شُهَدَاءَ إِذْ حَضَرَ يَعْقُوبَ الْمَوْتُ إِذْ قَالَ لِبَنِيهِ مَا تَعْبُدُونَ مِنْ بَعْدِي قَالُوا نَعْبُدُ إِلَهَكَ وَإِلَهَ آبَائِكَ إِبْرَاهِيمَ وَإِسْمَاعِيلَ وَإِسْحَاقَ إِلَهًا وَاحِدًا وَنَحْنُ لَهُ مُسْلِمُونَ
(QS. Al Baqarah: 132-133) [Lihat: Takhrij kitab Al Washayaa min Khabayaa Az Zawayaa -Shiddiq Hasan Khan]

Dengan demikian para da’i yang menyeru kepada tauhid adalah sebaik-baik dan semulia-mulia da’i, kerana dakwah (menyeru) kepada tauhid adalah dakwah (menyeru) kepada derajat iman yang paling tinggi.

Dari Abu Hurairah Radhiallahu’anhu bahwa Nabi Shallallahu’alaihi wasallam bersabda:

اْلإِيْمَانُ بِضْعٌ وَسَبْعُوْنَ شُعْبَةً، فَأَفْضَلُهَا قَوْلُ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ، وَأَدْنَاهَا إِمَاطَةُ اْلأَذَى عَنِ الطَّرِيْقِ وَالْحَيَاءُ شُعْبَةٌ مِنَ اْلإِيْمَانِ

“Iman itu terdiri dari tujuh puluh lebih cabang atau enam puluh lebih cabang. Yang paling utama adalah Laa ilaaha illallah dan yang paling rendah adalah menyingkirkan halangan dari jalan. Dan malu adalah sebahagian dari iman.” (HR. Muslim)’”

Imam An Nawawi rahimahullah berkata:
“Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam telah menegaskan lewat sabdanya di atas bahwa cabang-cabang keimanan yang paling tinggi adalah tauhid, yang menentukan sah atau tidaknya amalan setiap orang, dan tidak akan benar sedikitpun setiap cabang dari cabang-cabang keimanan tersebut kecuali setelah benar cabang tauhidnya.” [Shahih Muslim Syarh Imam Nawawi (1/280 cetakan Daar Abii Hayan)]

 “Bahkan tidak akan tumbuh cabang-cabang keimanan ini dalam hati seseorang dan tidak akan membuahkan hasil yang nyata dalam segala tindak, tingkah laku serta ucapan dan perbuatannya kecuali bila sesuai dengan makna-makna dari kalimat tauhid (thayyibah) itu.” Ini kerana perbaikan tauhid pada agama seseorang kedudukannya seperti memperbaiki hati dari sebuah tubuh.
Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam bersabda dalam hadith yang diriwayatkan dari An Nu’man bin Basyir:

أَلاَ وَإِنَّ فِي الْجَسَدِ مُضْغَةً إِذَا صَلَحَتْ صَلَحَ الْجَسَدُ كُلُّهُ وَإِذَا فَسَدَتْ فَسَدَ الْجَسَدُ كُلُّهُ أَلاَ وَهِيَ الْقَلْبُ

“Ketahuilah, sesungguhnya di dalam tubuh ada segumpal darah. Apabila baik segumpal darah itu, baiklah seluruh anggota tubuhnya dan apabila rusak, maka rusaklah seluruh anggota tubuh. Ketahuilah, segumpal darah itu adalah hati.” (HR. Bukhari (52) dan Muslim (1599)

Hadith ini menjadi dalil yang sangat jelas bahawa perbaikan tauhid yang bertumpu di dalam hati adalah pokok dari segala perbaikan dan merupakan perbaikan yang paling baik dan utama.

Oleh kerana ini, dakwah-dakwah yang mengatasnamakan islah (dakwah perbaikan) namun tidak mengarahkan dan mengacu kepada tauhid, pasti akan terjatuh kepada penyimpangan-penyimpangan yang kadar penyimpangannya tergantung jauh-dekatnya penyimpangan dakwah tersebut dari dasar yang agung ini. Keadaannya seperti orang-orang yang menghabiskan umurnya untuk menyerukan perbaikan hubungan sesama manusia, tetapi hubungan mereka dengan Al Khaliq yakni keyakinan mereka terhadap Allah jauh dari petunjuk salafus sholeh. Atau seperti mereka yang menghabiskan umurnya dalam memaksakan peraturan hukum tertentu dengan tujuan memperbaiki kehidupan manusia melalui peraturan hukum tersebut, atau orang-orang yang menghabiskan umurnya dalam memperbaiki keadaan negaranya melalui politik, tetapi mereka tidak memperdulikan kerusakan akidah mereka sendiri dan juga akidah objek dakwah mereka.

[Diambil dari kitab Sittu Durar min Ushuul Ahlil Atsar, Penulis Asy Syaikh Abdul Malik Ramadhani Al Jazairi, Penerbit Maktabah Al Ilmiyah, Judul Asli: Landasan 1 - Ikhlash]

No comments:

Post a Comment