Monday 6 June 2011

Islam Tidak Menyuruh Dakwah Kepada Kekuasaan Negara, Namun Menyuruh Dakwah Kepada Tauhid (Bahagian 5)


Syaikh Abdul Malik Ramadhani Al Jazairi



(Bahagian 5)

Oleh Kerana itu, seorang hamba tidak boleh keluar dari ketaatan kepada Rabb-nya atau mengurangi rasa syukur kepada-Nya dan merasa aman dari azab-Nya terlena oleh nikmat-nikmat Allah yang dia peroleh dan menyangka bahawa Allah redha kepadanya dengan hanya sedikit ketaatan.

 Allah Ta’ala berfirman:


أَفَأَمِنُوا مَكْرَ اللَّهِ فَلا يَأْمَنُ مَكْرَ اللَّهِ إِلا الْقَوْمُ الْخَاسِرُونَ

“Apakah kalian merasa aman dari azab Allah (yang tidak terduga-duga), maka tidak merasa aman dari azab Allah kecuali orang-orang yang merugi.” (QS. Al A’raf: 99) [1]

Berkata Dzun Nun rahimahullah: “Ketahuilah bahwa yang boleh membangkitkan rasa malu mereka kepada Allah ‘Azza wa Jalla adalah kalau mereka mengetahui kebaikan Allah kepada mereka dan mereka mengetahui betapa mereka telah menyia-nyiakan apa yang Allah wajibkan atas mereka untuk bersyukur kepada-Nya, padahal bersyukur kepada-Nya itu tidak pernah ada habisnya sebagaimana keagungan-Nya.” [2]

Kerana itu, sungguh termasuk durhaka kepada Allah orang yang tidak boleh memuliakan Allah dengan pemuliaan yang semestinya. Allah Subhanahu waTa’ala berfirman:

وَمَا قَدَرُوا اللَّهَ حَقَّ قَدْرِهِ وَالأرْضُ جَمِيعًا قَبْضَتُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَالسَّماوَاتُ مَطْوِيَّاتٌ بِيَمِينِهِ

“Dan mereka tidak mengagungkan Allah dengan pengagungan yang semestinya padahal bumi seluruhnya dalam genggaman-Nya pada hari kiamat dan langit digulung dengan tangan kanan-Nya.” (QS. Az Zumar: 67)

Kebodohan terhadap keagungan Allah adalah pangkal dari segala kebodohan dan penyebab keberanian seorang hamba untuk melanggar apa-apa yang diharamkan Rabb-nya.
Allah Ta’ala berfirman:

ذَلِكَ وَمَنْ يُعَظِّمْ حُرُمَاتِ اللَّهِ فَهُوَ خَيْرٌ لَهُ عِنْدَ رَبِّهِ

“Demikianlah (perintah Allah). Barangsiapa mengagungkan kehormatan Allah, maka itu lebih balk baginya di sisi Rabb-nya.” (QS.Al Hajj:30)
Allah Ta’ala berfirman:

إِنَّمَا التَّوْبَةُ عَلَى اللَّهِ لِلَّذِينَ يَعْمَلُونَ السُّوءَ بِجَهَالَةٍ

“Taubat (yang diterima) oleh Allah hanyalah taubat orang-orang yang melakukan kejelekan dengan kebodohan.” (QS. An Nisa: 17)
Dari Abul ‘Aliyah bahwa dia pernah menceritakan tentang perkataan sahabat-sahabat Nabi Shallallahu’alaihi wasallam. Mereka mengatakan: “Setiap dosa yang dilakukan seorang hamba adalah lantaran kebodohannya.” (HR. Ibnu jarir dengan sanad shahih) [3]

Begitu juga pernyataan yang shahih yang diriwayatkan dari Qatadah yang menyebutkan bahawa para sahabat Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam sepakat dalam masalah itu. [4]

Perkataan di atas menunjukkan kedalaman pemahaman agama para sahabat terhadap Kitabullah dan pengetahuan mereka tentang jiwa manusia serta pengaruh yang kuat dari tauhid dalam membersihkan jiwa manusia.

As Sudi berkata tentang firman Allah Ta’ala surah An Nisa: 17, Katanya, “Seseorang akan bermaksiat kepada Allah, selagi dia bodoh.” (HR. Ibnu Jarir dalam Tafsirnya dengan sanad jayyid)
Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata: “Maksudnya bahawa setiap orang yang bermaksiat kepada Allah adalah orang bodoh, dan setiap orang yang takut kepada-Nya adalah orang ‘alim (berilmu) dan taat kepada Allah. Kebodohan hanyalah kerana rasa takut seseorang masih kurang. Seandainya rasa takutnya sudah sempuma maka ia tidak akan berbuat maksiat.
Ibnu Mas’ud berkata: ‘Cukuplah takut kepada Allah sebagai ilmu dan cukuplah lalai kepada Allah sebagai suatu kebodohan.’” (Riwayat Ibnul Mubarak dan lainnya) [5]

Demikian itu, kerana gambaran seseorang akan sesuatu yang ditakuti akan menyebabkan dia lari darinya dan gambaran sesuatu yang dicintai mesti akan membuat dia mencarinya. Apabila dia tidak lari dari yang dia takuti dan tidak mencari yang dia cintai, itu menunjukkan kalau ia tidak memiliki gambaran yang sempuma.” (Majmu’ Fatawa) [Majmu' Fatawa (7/22-23)]

Semakin mengenal Rabb-nya, maka akan bertambah pula rasa takut seorang hamba kepada-Nya.
 Allah Ta’ala berfirman:

إِنَّمَا يَخْشَى اللَّهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاءُ

“Sesungguhnya yang takut kepada Allah diantara hamba-hamba-Nya adalah ulama.” (QS. Fathir: 28)

Orang yang paling berilmu adalah Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam kerana beliau selalu takut bermaksiat kepada Rabb-nya. Allah memerintahkan beliau untuk berkata:

إِنِّي أَخَافُ إِنْ عَصَيْتُ رَبِّي عَذَابَ يَوْمٍ عَظِيمٍ

“Sesungguhnya aku takut jika mendurhakai Rabbku akan diazab pada hari yang besar (hari kiamat).” (QS. Yunus: 15)

Kemaksiatan dan dosa sekalipun kecil, bagi ahlu tauhid yang mengenal Allah, mereka pandang seperti gunung sangat besar kerana mereka mengetahui keagungan Dzat yang Mahatunggal dan Mahaperkasa. Kerana generasi sahabat adalah generasi yang paling mengenal hak-hak Allah, maka mereka menjadi generasi yang paling takut kepada Allah. Abdullah Ibnu Mas’ud berkata: 

“Sesungguhnya kalian melakukan suatu amalan yang (dalam pandangan kalian) lebih kecil daripada sehelai rambut, padahal dulu kami (para sahabat) pada masa Nabi Shallallahu’alaihi wasallam menganggapnya sebagai al mubiqaat (dosa yang membinasakan, dosa besar).” (HR. Bukhari no. 6492). Al Bukhari berkata: “Al mubiqaat adalah al muhlikaat (yang menghancurkan atau membinasakan, dosa besar).”

Kita tidak boleh mengatakan sebagaimana ucapan sebahagian orang: “Amal-amal kebajikan orang yang baik adalah (sama dengan) kejelekan-kejelekan orang-orang yang didekatkan kepada Allah (muqarrabin).” Dosa tetap dosa. Sekalipun dosa keciI akan terasa besar bagi orang yang menyadari keagungan Yang Mahaperkasa, karena dia sedar dengan dia berbuat maksiat menjadi berkuranglah rasa malunya (kepada-Nya).

Al Auza’i rahimahullah berkata, “Saya mendengar Bilal bin Sa’ad berkata: ‘Janganlah kalian melihat kepada kecilnya dosa (yang dikerjakan), tetapi lihatlah kepada siapa engkau bermaksiat.’” [6]

Perhatikanlah atsar berikut ini, kita akan mendapatkan rahsia rasa takut seseorang kepada Allah Ta’ala dan keterkaitannya dengan ikhlas kepada-Nya.

Berkata Yahya bin Mu’adz: “Bagaimana mungkin amalku boleh menyelamatkan aku sedangkan aku sendiri berada di antara kebaikan dan kejelekan. Tidak ada kebaikan di dalam kejahatan-kejahatanku sementara kebaikanku tercampuri dengan kejelekan-kejelekan. Sedang Engkau, (ya Allah), tidak akan menerima amalan kecuali yang ikhlas. Kerana itu, tidak ada lagi yang aku harapkan kecuali kemurahan-Mu.” (HR. Al Baihaqi) [7]

Celaan terhadap diri sendiri, seperti yang dilakukan Yahya bin Mu’adz, membersihkan hati dari ‘ujub (rasa bangga) dengan amalannya sendiri, dan memumikan keikhlasan dari pengaruh-pengaruh nafsu dan sikap melangkahi kuasa Allah, padahal sesungguhnya setiap keutamaan yang dimiliki seseorang, itu semua dari Allah.

Allah Taala berfirman:

وَمَا بِكُمْ مِنْ نِعْمَةٍ فَمِنَ اللَّهِ

“Dan nikmat apa saja yang didapat oleh kalian, maka itu dari Allah.” (QS. An Nahl: 53)

Iblis sudah kepayahan dalam mengajak seseorang untuk mengerjakan kemaksiatan, orang tersebut tidak terpengaruh dan tetap beribadah kepada Rabb-nya, maka iblis melemparkan ke dalam hatinya bahasa-bahasa pujian hingga tumbuhlah di hati orang tersebut rasa ‘ujub, riya’ dan sum’ah (rasa ingin didengar orang). Iblis terus-menerus membujuknya seperti itu sampai menjelang sisa-sisa hidup orang tersebut.

Abdullah bin Ahmad bin Hanbal berkata: “Menjelang kematian ayah, saya duduk di sampingnya. Saya mengikat janggotnya dengan sehelai kain ketika beliau sedang menghadapi sakaratul maut. Beliau tidak bergerak sama sekali sampai kami mengira beliau sudah meninggal. Ternyata beliau sedar dan berkata: ‘Tidak! tidakl’ Beliau berkata seperti ini berulang kali. Ketika beliau berkata untuk yang ketiga kalinya maka aku pun bertanya, ‘Wahai ayah, apakah perkataan seperti itu yang engkau ucapkan pada saat-saat seperti ini?’ Dia berkata kepadaku, ‘Wahai anakku, apakah kamu tidak tahu?’ Aku jawab: ‘Tidak!’ Dia berkata: ‘Iblis laknatullah berdiri di hadapanku sambil menggigit jari kelingkingnya dan berkata, ‘Hai Ahmad, sesungguhnya engkau telah selamat dariku!’ Aku berkata: ‘Tidak, tidak pernah hingga aku mati.’” [8]

Barangsiapa yang memperhatikan perkataan Imam Ahmad di atas dan wasiat tauhid yang senantiasa disampaikan oleh para nabi dan rasul ‘alaihimush shalaatu was salaam, sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya maka ia akan. Yakni Iblis mengatakan kepadanya, “Engkau telah selamat dariku”, supaya dia bangga dengan amalannya. Demi Allah, ini adalah fitnah yang besar, pada saat yang kritis yang menimbulkan bangga diri. Hanya orang yang dijaga oleh Allah yang akan selamat. Mengetahui kaitan kalimat tersebut -jika sudah tertanam dalam hati- dengan keteguhan hati seseorang memegang  Islam di saat-saat menjelang kematian. Hal ini sesuai dengan penamaan “al qauluts tsaabit” (ucapan yang teguh) yang disebutkan di dalam surat Ibrahim yakni:

يُثَبِّتُ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا بِالْقَوْلِ الثَّابِتِ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَفِي الآخِرَةِ

Allah tetapkan orang-orang yang beriman dengan ucapan yang teguh di dunia dan di akhirat.” (QS. Ibrahim: 27)

Kerana itu Ibnul Qayyim rahimahullah berkata: “Tauhid adalah yang pertama kali diucapkan seseorang ketika masuk dalam Islam dan yang terakhir kali sesaat sebelum meninggalkan dunia. Nabi Shallallahu’alaihi wasallam bersabda:

مَنْ كَانَ آخِرَ كَلاَمِهِ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ دَخَلَ الْجَنَّةَ
“Barangsiapa yang akhir ucapannya laa ilaaha illallah niscaya masuk syurga.” 
(HR. Ahmad, Abu Dawud dan Al Hakim) [9]

Jadi tauhid menjadi kewajiban pertama bagi seseorang ketika hendak masuk Islam dan yang terakhir diucapkan ketika hendak meninggal. Tauhid adalah awal dari segala perkara dan akhir dari segalanya.” [Madaarijus alikin (31443)]
Oleh kerana itu, berlaku sunna
tullah pada hamba-hamba-Nya bahwa barangsiapa hidup dengan tauhid yang murni dan tidak terkotori dengan noda syubhat (kerancuan) ahlu ta’thil, ta’wil dan tamsil, niscaya ia akan diwafatkan oleh-Nya dengan tauhid pula, lebih-lebih kalau dia seorang da’i yang menyeru kepada tauhid dan membelanya. Al Hafizh Abdul Ghafir Al Farisi rahimahullah berkata: “Saya mendengar Abu Shafih berkata: ‘Aku masuk menemui Abu Bakar Al Lubbad ketika beliau sedang sakaratul maut. Dalam keadaan pasrah dan rela, aku mendengar beliau mengucapkan: ‘(Dia lah Raja Yang Mahasuci Yang Maha Sejahtera Yang Maha Pemberi keamanan) …dst. Beliau melafalkan Asma’ul Husna ini sampai akhir.”‘

هُوَ اللَّهُ الَّذِي لا إِلَهَ إِلا هُوَ الْمَلِكُ الْقُدُّوسُ السَّلامُ الْمُؤْمِنُ الْمُهَيْمِنُ الْعَزِيزُ الْجَبَّارُ الْمُتَكَبِّرُ سُبْحَانَ اللَّهِ عَمَّا يُشْرِكُونَ

“Dia-lah Allah Yang tiada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia, Raja, Yang Maha Suci, Yang Maha Sejahtera, Yang Mengaruniakan keamanan, Yang Maha Memelihara, Yang Maha Perkasa, Yang Maha Kuasa, Yang Memiliki segala keagungan, Maha Suci, Allah dari apa yang mereka persekutukan” (QS. Al Hasyr: 23) [10]

Dan tidak boleh saya lupakan wasiat Syaikh Muhammad Aman Al Jami rahimahullah yang diceritakan oleh banyak syaikh yang sempat bertemu beliau. Mereka menceritakan kepada kita bahwa ketika Syaikh Al Jami sedang menghadapi maut beliau berucap: “Akidah, akidah! Aku wasiatkan ini kepada kalian.”

Itulah sebaik-baik kematian! Sungguh beliau hidup untuk tauhid semata. Ucapan-ucapan beliau hampir-hampir hanya berkisar tentang tauhid dan pembelaan terhadapnya. Allah pun mengakhiri hidupnya dengan tauhid. Beliau menjadikan tauhid sebagai wasiat beliau bagi orang-orang yang ditinggalkan sebagaimana yang dilakukan Al Khalil Ibrahim dan keturunannya alaihimus shalaatu was salaam. Allah Ta’ala berfirman:

وَوَصَّى بِهَا إِبْرَاهِيمُ بَنِيهِ وَيَعْقُوبُ يَا بَنِيَّ إِنَّ اللَّهَ اصْطَفَى لَكُمُ الدِّينَ فَلا تَمُوتُنَّ إِلا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ. أَمْ كُنْتُمْ شُهَدَاءَ إِذْ حَضَرَ يَعْقُوبَ الْمَوْتُ إِذْ قَالَ لِبَنِيهِ مَا تَعْبُدُونَ مِنْ بَعْدِي قَالُوا نَعْبُدُ إِلَهَكَ وَإِلَهَ آبَائِكَ إِبْرَاهِيمَ وَإِسْمَاعِيلَ وَإِسْحَاقَ إِلَهًا وَاحِدًا وَنَحْنُ لَهُ مُسْلِمُونَ

“Dan Ibrahim telah mewasiatkan ucapan itu kepada anak-anaknya, demikian pula Ya’qub. (Ibrahim berkata): ‘Hai anak-anakku, sesungguhnya Allah telah memilih agama ini bagimu. Oleh karena itu, janganlah kamu mati kecuali dalam memeluk agama Islam. Adakah kamu hadir ketika Ya’qub kedatangan (tanda-tanda) maut, ketika la berkata kepada anak-anaknya: ‘Apa yang kamu sembah sepeninggalku?’ Mereka menjawab: ‘Kami akan menyembah Ilah-mu dan Ilah nenek moyangmu, Ibrahim, Isma’il dan Ishaq, (yaitu) Ilah Yang Mahatunggal dan kami hanya tunduk patuh kepada-Nya.’” (QS. Al Baqarah: 132-133)

[Diambil dari kitab Sittu Durar min Ushuul Ahlil Atsar, Penulis Asy Syaikh Abdul Malik Ramadhani Al Jazairi, Penerbit Maktabah Al Ilmiyah, Judul Asli: Landasan 1 - Ikhlash]
_________
Footnote
[1] Lihat: Al Minhaj dalam Syu’ab Al lman karya Al Hulaimi (1/50).
[2] Riwayat Al Baihaqi dalam Asy Syu’ab (7349).
[3] Riwayat Ibnu Jarir dalam Tafsirnya (8/89-Syakir) dengan sanad yang shahih. Sa’id dalam sanad atsar ini adalah Ibnu Abi ‘Urwah. Dia perawi yang tsiqah yang di usia tuanya hafalannya kacau. Akan tetapi perawi yang meriwayatkan atsar ini darinya yakni Yazid bin Zurai’ mendengar atsar ini sebelum pikunnya sebagaimana dikatakan oleh Imam Ahmad bin Hanbal. Lihat: Al Ma War dan At Tarikh karya Al Fasawi (2/140).
[4] Riwayat ‘Abdur Razaq dalam Tafsimya (1/151), dan Ibnu Jarir dalam tafsirnya (8/89) dengan sanad yang shahih.
[5] Riwayat Ibnul Mubarak dalam Az Zuhd (46), Ibnu Abi Saibah (13/291), Ahmad dalam Az Zuhd (hal 158), Abu Dawud dalam Az Zuhd (178), Ath Thabrani dalam Al Kabir (9/211-212), Ibnu Batthah dalam, dan Al Baihaqi dalam Asy Syu’ab (732) dan dalam Al Madkhal (487). Semuanya dari jalan Al Mas’udi. Sekalipun dia ikhtalath (pikun) akan tetapi hal itu tidak menjadikan cacat riwayatnya ini. Kemudian riwayatnya ini dikuatkan oleh riwayat Al Qasim. Yahya bin Ma’in ditanya tentang Al Mas’udi maka jawabnya: “Dia tsiqah…….. riwayatnya menjadi shahih bila diceritakan oleh Al Qasim dan Ma’an.” Riwayat Al Khathib (10/221). Akan tetapi tetap saja munqati’ (terputus) antara Al Qasim dengan Abdullah bin Mas’ud, meskipun kalimat pertama pada atsar tersebut mempunyai riwayat pendukung terhadap riwayat dengan lafadz “llmu itu adalah rasa takut kepada Allah”. Riwayat pendukung ini diriwayatkan oleh Ahmad dalam Az Zuhd (hal 185), Abu Nu’aim dalam Al Hilyah (1/131), dan Al Baihaqi dalam Al Madkhal (486) dari jalan ‘Aun bin Abdillah bin ‘Utbah bin Mas’ud dari Ibnu Mas’ud. Sanadnya shahih kalau tidak terputus antara ‘Aun dan Ibnu Mas’ud. At Turmudzi berkata dalam Sunan-nya (3/561): ‘Aun bin Abdillah tidak bertemu dengan Ibnu Mas’ud.” Lihat pernyataan Imam Syafi’i dalam Sunan Al Kubra karya Al Baihaqi (5/332), Ad Daraquthni dalam Suaalaat Al Burqani (385), dan Al ‘Alaai dalam Jami’ At Tahshil (hal 249) yang Riwayat ini memperkuat riwayat Al Qasiro yang terdahulu. Terlebih dia memiliki penguat yang banyak dalam Al Qur’an, As Sunnah dan Atsar para Salaf yang tidak mungkin dibahas disini. Peringatan: Ada dalam sanad Abu Nu’aim dari ‘Aun bin Abdullah bahwa dia berkata: “Abdullah berkata kepadaku.” Demikian dalam Al Hilyah (1/131). Kalau aku tidak tahu bahwa ‘Aun bin Abdillah menegaskan telah mendengar atsar tersebut dari Ibnu Mas’ud niscaya aku tetap mengatakan lemah atsar ini. Barangkali ini karena kesalahan cetak (tashif) atau yang semisal itu. Kesimpulannya: Saya tidak ragu lagi menisbatkan perkataan ini kepada Ibnu Mas’ud dengan penjelasan di atas. Wallahu a’lam.
[6] Riwayat Ibnul Mubarak dalam Az Zuhd(71), Abdullah bin Ahmad dalam Zawaid Az Zuhd (hai 384), Al ‘Uqaili dalam Ad Dhuafa (2/232), Abul Fadl Az Zuhri dalam Haditsnya (402), Abu Nu’aim dalam Al Hilyah (5/223), Ibnu ‘Asakir dalam Tarikh Dimasyq (10/501-502), dan Adz Dzahabi dalam As Siyar {5/9)). Atsar ini shahih sekalipun di dalamnya terdapat Al Walid bin Muslim seorang mudallis yang meriwayatkan secara ‘an’anah (menggunakan lafadz “dari” yang menunjukan ke-dhaif-annya). Akan tetapi dalam salah satu jalan Ibnu ‘Asakir dan Adz Dzahabi, dia menegaskan riwayatnya dengan cara “haddatsana” (lafadz “telah menceritakan kepadaku” yang menunjukan ke-shahih-annya). Kemudian dia juga memiliki (pengikut) hadits yang lain yang menguatkannya sebagaimana bisa kita ketahui dari kitab-kitab takhrij.
[7] Riwayat Al Baihaqi dalam Asy Syu’ab (824) dan yang semisalnya nomor (823)
[8] Riwayat Ibnu ‘Alam dalam Juznya, sebagaimana disebutkan dalam As Siyar, Abu Nu’aim dalam Al Hilyah (9/183), Al Baihaqi dalam As Syu’ab (726), Ibnul Jauzi dalam Manakib Imam Ahmad (hal 546-547) dengan sanad yang jayyid. Berkata Imam Adz Dzahabi dalam As Siyar (151544) ketika menyebutkan biografi Ibnu ‘Alam -yang meriwayatkan hadits ini- “Penuturan Abdullah bin Ahmad tentang ucapan bapaknya tidak terhitung lemah.” Lihatlah juga As Siyar (11/341). Kisah ini masih butuh pemeriksaan, sekalipun tidak ada sedikit pun kaitannnya dengan urusan fiqih. Lihat As Syu’ab Imam Al Baihaqi (827-dst.).
[9] Riwayat Imam Ahmad (5/233), Abu Dawud (3116), Al Hakim (1/351) dari Muadz; di- oleh Al Hakim dan disepakati oleh Adz Dzahabi.
[10] Al Muntakhab min As Siyaqi Li At Taarikhi Naisabur karya Ibrahim Ash Sharif hal. 36. Sanad atsar ini shahih.

No comments:

Post a Comment