Monday 6 June 2011

Islam Tidak Menyuruh Dakwah Kepada Kekuasaan Negara, Namun Menyuruh Dakwah Kepada Tauhid (Bahagian 4)


Syaikh Abdul Malik Ramadhani Al Jazairi
(Bahagian 4)

Ibnul Qayyim rahimahullah berkata: 

“Kemuliaan ilmu itu tergantung kepada apa yang dibahas, dan tidak ragu lagi bahwa ilmu yang paling mulia dan agung adalah ilmu bahwa Allah adalah Dzat yang tidak ada llah yang berhak disembah selain Dia Rabbul ‘Alamin, Yang menegakkan langit-langit dan bumi, Raja yang haq yang nyata, yang memiliki seluruh sifat kesempurnaan dan jauh dari segala cacat dan kekurangan serta dari segala penyamaan dan penyerupaan dalam kesempurnaan-Nya. Juga tidak ragu lagi bahawa ilmu tentang Allah, tentang nama-nama-Nya dan sifat-sifat-Nya serta perbuatan-perbuatan-Nya adalah ilmu yang paling mulia dan agung.”
Beliau melanjutkan, “Dan ilmu tentang Allah merupakan pokok serta dasar pijakan semua ilmu. Barangsiapa yang mengenal Allah, dia akan mengenal yang selain-Nya dan barangsiapa yang tidak mengenal Rabb-nya, terhadap yang lain dia lebih tidak mengenal lagi.
Allah Ta’ala berfirman:
وَلا تَكُونُوا كَالَّذِينَ نَسُوا اللَّهَ فَأَنْسَاهُمْ أَنْفُسَهُمْ

“Dan jangarilah kamu seperti orang-orang yang lupa kepada Allah, lalu Allah jadikan mereka lupa kepada dirinya sendiri.” (QS. Al Hasyr: 19)
Kalau kita perhatikan ayat ini, niscaya kita akan menemukan makna yang mulia dan agung, yakni bahawa orang yang lupa kepada Rabb-nya, Allah akan jadikan dia lupa kepada zat dan jiwanya, tidak akan tahu hakikat dirinya dan kemaslahatan baginya. Bahkan dia lupa apa yang boleh mendatangkan kemaslahatan bagi dirinya dan menyelamatkannya di dunia dan di akhirat, sehingga ia menjadi orang yang diabaikan dan tidak berguna, yang kedudukannya sama dengan seekor haiwan yang ditelantarkan bahkan boleh jadi si haiwan lebih mengetahui kemaslahatannya dibanding dirinya. Adapun yang dimaksud dengah “ilmu tentang Allah itu adalah dasar dari segala ilmu” adalah dasar dari segala ‘ilmu seorang hamba akan kebahagiaan dan kesempurnaan serta kebaikannya di dunia dan di akhirat kelak. [Miftah Daar As Sa'dah (1/86)]
Barangsiapa yang meyakini perkara ini sepenuh hati, maka jiwanya akan ringan dan mudah untuk mendahulukan keredhaan Rabb-nya daripada mendahulukan hawa nafsunya. Ini dari sisi keadaan dirinya yang lemah. Dia mengetahui kadar dirinya. Adapun tatkala dia mengetahui kedudukan Rabbnya, maka dia akan merasa malu kepada Allah Subhanahu waTa’ala dan cinta kepada-Nya, terikat hatinya, rindu bertemu dengan-Nya, merasa tenang dengan-Nya, kembali kepada-Nya, takut kepada-Nya dan berpaling dari makhluk menuju kepada-Nya.
Manusia dalam hal ini berbeda tingkatan dan darjatnya yang tidak ada seorang pun yang mengetahui darjat atau tingkatan ini kecuali yang telah memperkenalkan diri-Nya sendiri kepada mereka dan membuka hati mereka untuk mengenal-Nya. Seorang ciptaan-Nya yang paling mengenal-Nya yang tak lain adalah Nabi kita sendiri Muhammad Shallallahu’alaihi wasallam, dari Aisyah Radhiallahu’anha mengkabarkan:
فَقَدْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَيْلَةً مِنَ الْفِرَاشِ فَلْتَمَسْتُهُ فَوَقَعَتْ يَدِي عَلَى بَطْنِ قَدَمَيْهِ وَهُوَ فِي الْمَسْجِدِ وَهُمَا مَنْصُوبَتَانِ وَهُوَ يَقُوْلُ: اللّهُمَّ إِنِّي أَعُوْذُ بِرِضَاكَ مِنْ سَخَطِكَ وَبِمُعَافَاتِكَ مِنْ عُقُوْبَتِكَ، وَأَعُوْذُ بِكَ مِنْكَ لاَ أُحْصِي ثَنَاءً عَلَيْكَ أَنْتَ كَمَا أَثْنَيْتَ عَلَى نَفْسِكَ

“Suatu malam, aku pernah kehilangan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dari tempat tidurku. Maka aku pun meraba-raba mencari beliau hingga kedua tanganku menyentuh bahagian dalam kedua telapak kaki beliau yang sedang ditegakkan. Ketika itu beliau di tempat sholatnya (dalam keadaan sujud) dan sedang berdoa: Ya Allah, aku berlindung dengan keredhaan-Mu dari kemurkaan-Mu dan dengan maaf-Mu dari hukuman-Mu. Dan aku berlindung kepada-Mu dari-Mu, aku tidak dapat menghitung pujian atas-Mu, Engkau sebagaimana yang Engkau puji terhadap diri-Mu.” (HR. Muslim no. 486)
Dan diriwayatkan bahwa Allah Subhanahu waTa’ala akan membukakan kepada beliau Shallallahu’alaihi wasallam  di hari kiamat nanti semua pujian-pujian untuk-Nya yang belum diketahui atau diamalkan oleh beliau sekarang di dunia. [1]
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata:
 “Cinta dan rindu seseorang kepada Allah tergantung pengenalan dan ilmunya tentang Allah. Setiap kali ilmunya tentang Allah bertambah, maka kecintaan kepada Allah akan semakin sempurna. Barangsiapa yang beriman kepada Allah, mengenal dan mengetahui nama-nama dan sifat-sifat-Nya, maka ia cinta kepada-Nya, merasa nikmat bertemu dengan-Nya, bersanding dengan-Nya, melihat wajah-Nya dan akan selalu mendengar perkataan-Nya. Kesempurnaan darjat seorang hamba diukur dengan dua kekuatan ini: ilmu dan cinta kepada Allah. Seutama-utama ilmu adalah ilmu tentang Allah dan setinggi-tinggi cinta adalah cinta kepada Allah. Kenikmatan yang paling sempurna tergantung kepada keduanya (yaitu ilmu tentang Allah dan cinta kepada-Nya). Wallaahul Musta’aan (dan Allahlah yang Maha Penolong). [Al Fawaaid hal. 70]
Malik bin Dinar rahimahullah berkata:
 “Para penduduk dunia meninggalkan dunia ini padahal mereka belum merasakan sesuatu yang paling nikmat di dalamnya.” Orang-orang kemudian bertanya: “Apa itu yang paling nikmat wahai Abu Yahya?” Beliau menjawab: “Mengenal Allah Subhanahu waTa’ala.” [2]
Kerana itu setiap kali bertambah pengetahuan seorang hamba terhadap Allah, maka bertambahlah kerinduannya untuk bertemu dengan-Nya. 
Ibnu Mas’ud Radhiallahu’anhu berkata: “Tidak ada ketenangan bagi seorang mukmin yang tidak (boleh) bertemu dengan Allah. Oleh kerana itu, barang siapa di waktu tenangnya berada (digunakan) untuk bertemu dengan Allah Ta’ala, maka seakan-akan dia sungguh telah bertemu dengan-Nya.” [3]
Maksudnya apabila iman seseorang telah mencapai tingkatan seperti ini, dengan merasakan kedekatan diri kepada Allah Subhanahu waTa’ala, tenang hatinya dekat dengan Allah, maka sungguh dia telah sampai (kepada Rabb-nya). Sebagaimana firman-Nva Subhanahu waTa’ala:
الَّذِينَ آمَنُوا وَتَطْمَئِنُّ قُلُوبُهُمْ بِذِكْرِ اللَّهِ أَلا بِذِكْرِ اللَّهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوبُ

“(Yaitu) orang-orang yang beriman dan merasa tenang hatinya dengan mengingat Allah. Ketahuilah, dengan mengingat Allah hati menjadi tenang.” (QS. Ar Ra’du: 28)
Bagaimana dengan orang yang katanya rindu untuk bertemu dengan Rabb-nya, tetapi tidak mahu menyepi sendiri berpisah dari para teman dan sahabat-sahabatnya?!
‘Adi bin ‘Adi berkata: “Umar bin Abdul ‘Aziz pernah menulis surat kepadaku yang isinya: ‘Amma ba’du, sesungguhnya iman itu memiliki kewajiban-kewajiban, aturan-aturan, batas-batas dan sunnah-sunnah. Barangsiapa yang menyempurnakan hal-hal tersebut bererti dia telah menyempurnakan imannya dan barangsiapa yang tidak menyempurnakannya, bererti dia belum menyempurnakan imannya. Jika aku masih boleh hidup lama, aku akan jelaskan kepada kalian sehingga kalian beramal dengannya. Namun jika aku ternyata terburu mati, aku tidak boleh tetap menemani kalian.’” (HR. Bukhari) [4]
Termasuk dalam golongan orang-orang yang tahu kedudukan Allah adalah para nabi ‘alaihimush shaalatu wassalaam. Mereka adalah orang-orang yang mendapat pertolongan Rabbnya Azza wajalla yaitu mereka diberikan pilihan berupa umur yang panjang atau mati. Mereka pun lebih memilih bertemu dengan Rabb mereka. Imam Bukhari membuat satu bab dalam kitab hadith beliau dengan judul: Bab Barangsiapa yang Menginginkan Bertemu dengan Allah, maka Allah Menginginkan Bertemu (pula) dengannya. Beliau menyebutkan satu hadith di dalamnya yang  bersumber
dari Aisyah Radhiallahu’anha, dia berkata: “Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam pernah bersabda ketika beliau masih sehat, ‘Sesungguhnya semua nabi sebelum dicabut ruhnya diperlihatkan terlebih dahulu kepadanya tempatnya di syurga, setelah itu disuruh memilih (bertahan di dunia dengan panjang umur atau meninggal dunia).’” Tatkala malaikat maut turun kepada beliau yang waktu itu kepala beliau berada di atas paha saya, tiba-tiba beliau tidak sedar dan baru tersedar setelah beberapa saat. Kemudian beliau memandang ke atas langit-langit kemudian berucap: ‘Allaahumma Ar Rafiiqaal A’laa’. Akupun berkata: “Kalau begitu, beliau tidak memilih kita dan tahulah aku itulah sesungguhnya (makna) hadith yang pernah disampaikan kepada kami. Dia (‘Aisyah) berkata: “Itulah kalimat terakhir yang diucapkan oleh Nabi Shallallahu’alaihi wasallam yakni: ‘Allahumma Ar-RafiquI Ala.’” (HR. Bukhari no. 6509 dan Muslim 4/1894)
Pelik, betapa keras hati mereka dan begitu tebal tirai penutupnya sehingga mereka tidak memahami hal ini. Mereka menuduh segala usaha untuk membela sifat-sifat Allah Subhanahu waTa’ala serta nama-nama-Nya dari dituduh para pelaku ta’thiil (orang yang menafikan sifat-sifat Allah) begitu pula pelaku tamtsiil (menyerupakan sifat-sifat Allah dengan sifat-sifat makhluk-Nya) sebagai perbuatan tipu daya. Menurut mereka tidak ada kewajiban atas mereka terhadap Allah Subhanahu waTa’ala untuk membela dzat-Nya yang suci!!
Juga menghairankan, pelajaran tauhid yang diajarkan para salafus sholeh dicela sebagai “pemyataan-pernyataan yang sesat” atau “debat orang-orang Romawi Timur??!” Bagaimana mungkin mereka boleh begitu, padahai hampir-hampir semua ayat Al Qur’an selalu ditutup dengan nama-nama Allah Ta’ala atau sifat-sifat-Nya?!
Perhatikanlah ayat-ayat Allah Ta’ala berikut ini:
إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ

“Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al Baqarah: 173)
وَكَانَ اللَّهُ عَلِيمًا حَكِيمًا

“Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (QS. An Nisa:17)
وَاللَّهُ عَزِيزٌ ذُو انْتِقَامٍ

“Dan Allah Maha Perkasa yang memiliki balasan (siksa).” (QS. Ali ‘Imran: 4)
وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ يَعْلَمُ مَا فِي أَنْفُسِكُمْ فَاحْذَرُوهُ

“Dan ketahuilah, sesungguhnya Allah mengetahui apa-apa yang ada pada diri-diri kalian. Oleh kerana itu, takutlah kalian kepada-Nya.” (QS. Al Baqarah: 235)
وَكَانَ اللَّهُ قَوِيًّا عَزِيزًا

“Dan Allah Mahakuat lagi Maha perkasa.” (QS. Al Ahzab: 25)
وَإِنَّ رَبَّكَ لَهُوَ الْعَزِيزُ الرَّحِيمُ

“Dan sesungguhnya Rabb-mu, Dialah yang Maha perkasa lagi Maha Penyayang.” (QS, Asy Syu’ara: 140)
إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا

“Dan sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kalian.” (QS.An Nisa:1)
وَاللَّهُ غَنِيٌّ حَمِيدٌ

“Dan Allah Mahakaya lagi Maha Terpuji.” (QS. At Taghabun: 6)
إِنَّ بَطْشَ رَبِّكَ لَشَدِيدٌ. إِنَّهُ هُوَ يُبْدِئُ وَيُعِيدُ. وَهُوَ الْغَفُورُ الْوَدُودُ. ذُو الْعَرْشِ الْمَجِيدُ

“Sesungguhnya azab Rabb-mu sangat keras. Sesungguhnya Dialah yang menciptakan (makhluk) dari permulaan dan menghidupkannya (kembali). Dia Maha Pengampun lagi Maha Pengasih. Yang memiliki ‘Arsy lag] Maha Mulia.” (QS. Al Buruuj: 12-16)
Ayat-ayat di atas mengandung nama-nama-Nya yang paling baik (asma’ul Husna) dan sifat-sifat-Nya yang paling tinggi (shifatul ‘ulya) yang akan mengena dan berbekas dalam hati orang yang mengetahui maksud dan maknanya. Seseorang yang demikian keadaannya akan selalu merasa diawasi oleh Allah setiap waktu, sehingga dia akan malu (kepada-Nya).
Diriwayatkan dari Sa’id bin Yazid Al Anshari bahwa pernah ada seorang laki-laki berkata: “Wahai Rasulullah, nasehatilah aku!” Beliau bersabda: “Aku nasehatkan engkau untuk malu kepada Allah Azza wajalla sebagaimana engkau malu terhadap seorang laki-laki yang sholeh dari kaummu.” (HR.Ahmad, Al Baihaqi dan yang lainnya, berkata Al Albani: “Hadits ini sanadnya jayyid.”) [5]
Abu Bakar Ash Shiddiq Radhiallahu’anhu berkata dalam salah satu khutbahnya: “Wahai sekalian kaum muslim, malulah kalian kepada Allah! Demi Allah yang jiwaku berada dalam genggaman-Nya, sesungguhnya jika buang hajat saya menutup wajah saya dengan kain kerana malu kepada Rabbku.” [6]
Kerana itu, Nabi Shallallahu’alaihi wasallam mengkabarkan bahawa seorang hamba melakukan kemaksiatan tatkala hatinya sedang kosong dari keimanan. Dari Abu Hurairah Radhyiallahu’anhu bahwa Nabi Shallallahu’alaihi wasallam bersabda, “Tidak berzina seorang pezina ketika ia berzina dalam keadaan beriman, dan tidak mencuri seorang pencuri ketika ia mencuri dalam keadaan beriman, dan tidak minum khamar seorang peminum ketika ia meminumnya dalam keadaan beriman, dan (pintu) taubat terbuka setelah itu.” (HR. Ahmad 2/376, Bukhari no. 6810, dan Muslim no. 57)
Ikrimah berkata: “Aku berkata kepada Ibnu ‘Abbas: ‘Bagaimana iman boleh terangkat darinya?’ Beliau menjawabnya: ‘Begini -dia mengaitkan jari-jemari tangannya kemudian membukanya- maka apabila dia bertaubat kembalilah keadaannya seperti ini dia mengaitkan kembali jari-jemari-nya.’” (HR. Bukhari no. 6809)
Tatkala Nuh ‘alaihis salaam menyeru kaumnya dan mereka tidak memenuhi seruannya, tahulah dia bahwa mereka menolak kerana tidak adanya pengetahuan mereka akan keagungan Allah. Dia menyebutnya dengan sebutan Al Waqaar (keagungan).
مَا لَكُمْ لا تَرْجُونَ لِلَّهِ وَقَارًا

Nuh berkata: “Mengapa kamu tidak percaya akan kebesaran Allah?” (QS. Nuh: 13)
Ibnu ‘Abbas Radhiallahu’anhu menafsirkan ayat di atas: “Kalian tidak mengetahui kebesaran-Nya.” [7]

Dalam riwayat lain dia menafsirkan ayat ini dengan ucapannya: “Mengapa kamu tidak mengagungkan-Nya dengan sebenar-benar pengagungan?” [8]
Hal itu kerana kalau makhluk mengagungkan Allah Ta’ala pastilah mereka tidak akan menyekutukan sesuatu dengan-Nya, kerana kebaikan itu semuanya berada dalam genggaman-Nya. Bagaimana mungkin mereka bernaung dan berlindung kepada selain-Nya sedang Allah Ta’ala berfirman:
وَإِنْ مِنْ شَيْءٍ إِلا عِنْدَنَا خَزَائِنُهُ

“Dan tidak ada sesuatupun melainkan pada sisi Kami-lah kunci perbendaharaannya.” (QS. Al Hijr: 21)
Dan kerana semua keburukan dapat tertolak dari mereka dengan kekuatan-Nya, kekuasaan-Nya dan keperkasaan-Nya. Allah Ta’ala berfirman:
أَلَيْسَ اللَّهُ بِكَافٍ عَبْدَهُ وَيُخَوِّفُونَكَ بِالَّذِينَ مِنْ دُونِهِ

“Bukankah Allah cukup untuk melindungi hamba-hamba-Nya? Dan mereka menakut-nakuti kamu dengan (sesembahan-sesembahan) selain Allah.” (QS. Az Zumar: 36)
Seandainya manusia mengagungkan Allah niscaya rasa takut (terhadap-Nya) akan menenteramkan hati mereka sehingga mereka tidak akan berbuat maksiat kepada-Nya. Itu kerana rasa takut kepada Allah akan menghalangi mereka masuk ke dalam murka-Nya. Dikatakan oleh Sa’id bin Jubair rahimahullah:

 “Sesungguhnya yang namanya takut adalah takut kepada Allah yang mampu menghalangi kamu dari berbuat maksiat. Dzikir (ingat kepada Allah) adalah sarana untuk taat kepada Allah. Barangsiapa yang taat kepada Allah bererti dia mengingat-Nya dan barangsiapa yang tidak menaati-Nya berarti dia tidak mengingat-Nya, sekalipun dia banyak bertasbih dan membaca Al Qur’an.” (HR. Abu Nu’aim) [9]
Perkataan di atas mengandung makna tersembunyi yang perlu diperhatikan, yakni bahawa seorang hamba bermaksiat kepada Allah apabila hilang dari hatinya muraqabah (merasa dekat dan diawasi oleh Allah) dan lenyap rasa keberadaan Allah bersamanya, tidak merasa didengar dan dilihat perbuatannya, hawa nafsu menguasai dirinya dan hatinya sangat cenderung kepada maksiat. Akan tetapi tatkala dia ingat kehadiran Allah disisinya, dia pun berhenti (dari maksiat tersebut). Allah Ta’ala berfirman:
أَلَمْ يَعْلَمْ بِأَنَّ اللَّهَ يَرَى

“Apakah dia tidak mengetahui bahawa sesungguhnya Allah melihat segala perbuatannya?” (QS. Al ‘Alaq: 14)
Dan perkataan Syaikh rahimahullah: “Barangsiapa yang menaati Allah maka bererti ia berdzikir kepada-Nya,” maksudnya bahwa dzikir di sini adalah dzikir hati yang merupakan faktor dan pemicu terbesar munculnya ketaatan. Dikatakan oleh Maimun bin Mihram rahimahullah: “zikir itu ada dua, zikir dengan lisan, maka ini baik, dan yang lebih utama adalah zikir yang bererti seorang hamba mengingat Allah ketika ia berhadapan dengan maksiat atau dosa.” [10]
Jadi seseorang taat dan terhindar dari maksiat tergantung kepada pengetahuannya tentang Allah, senantiasa merasa diawasi Allah, dan takut kepada Allah yang kesemuanya merupakan bentuk-bentuk mengagungkan Allah Subhanahu waTa’ala. Seseorang itu hendaklah selalu menyedari keagungan Allah Subhanahu waTa’ala agar ibadahnya terus mengalir dan merasa ibadahnya kecil di mata Allah Subhanahu waTa’ala sehingga dia akan lebih bersungguh-sungguh dalam beribadah dan memperbaikinya tanpa putus-putusnya serta tidak berani menambah-nambah apa yang telah disyariatkan. Perhatikanlah keadaan orang-orang yang rela bersusah-payah di malam hari untuk beribadah kepada Allah, tunduk dan patuh kepada-Nya! Mereka menutup ibadah mereka dengan istighfar memohon ampunan-Nya atas kekurangan-kekurangan dalam ibadah mereka semata-mata kerana mereka takut kepada-Nya. Allah Ta’a/a berfirman:
كَانُوا قَلِيلا مِنَ اللَّيْلِ مَا يَهْجَعُونَ. وَبِالأسْحَارِ هُمْ يَسْتَغْفِرُونَ

“Mereka sedikit sekali tidur di waktu malam, dan di akhir-akhir malam mereka memohon ampun (kepada Allah).” (QS. Adz Dzaariyat: 17-18)
Dari ‘Utbah bin Abdin, dia berkata: “Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam bersabda: ‘Seseorang yang diseret di atas wajahnya sejak dia dilahirkan sampai hari kematiannya, lemah (mencari) keredhaan Allah, niscaya akan terhinalah dia pada hari kiamat.” (HR. Ahmad dan  yang lainnya dan berkata Al Albani: “Sanadnya jayyid”) [11]
[Diambil dari kitab Sittu Duror min Ushuul Ahlil Atsar, Penulis Asy Syaikh Abdul Malik Ramadhani Al Jazairi, Penerbit Maktabah Al Ilmiyah, Judul Asli: Landasan 1 - Ikhlash]
_________
Footnote
[1] Hadith ini ada dalam Shahih Bukhari (4712) dan Shahih Muslim (326) dan lihat Al Fawaaid oleh Ibnul Qayyim (hal.221)
[2] Riwayat Ad Diinuuri dalam Al Majaalisah (222,1879) dan Abu Nu’aim dalam Al Hilyah (2/358), Ibnu ‘Asaakir dalam Tan Dimasyq (56/420421,426-427) dengan sanad-sanad yang saling menshahihkan. Hadith di atas serupa dengan ucapan ‘Abdullah bin Mubarak sebagaimana tersebut dalam Al Hilyah Abi Nu’aim (8/167).
[3] Riwayat Waki’ dalam Az Zuhd (86) dan Ahmad dalam Az Zuhd (hal.156) untuk paragraf yang pertama dan Abu Al Hasan Al Ahmimi menyempurnakannya dalam hadithnya (2/63/1). Hadith ini tersebut dalam Silsilah hadith Adh Dha’ifah Al Albani (2/116). Di sana beliau menshahihkan riwayat atau atsar penggalan yang terakhir ini.
[4] HR Bukhari dalam Shahih-nya secara mu’allaq (tanpa disebutkan sanadnya) (1/45–Al Fath) secara bersambung dalam Kitab Al lmam (1300). Dan Ibnu Hajar dalam At-Ta’liqut Ta’liq. Beliau menshahihkannya dan Al ‘Aini dalam ‘Umdatul Qoori (1/114) dan Al Albani dalam ta’liqnya (komentar beliau) terhadap kitab Al Imam Ibnu Abi Syaibah (hal 45).
[5] HR Ahmad dalam Az Zuhd (46), Al Baihaqi dalam Asy Syu’ab (7343), dan lainnya. Al Albani berkata di dalamnya “sanad-nya bagus.” As Silsilah Ash-Shahihah (741)
[6] Riwayat Ibnu Mubarak dalam Az Zuhd (316), Ibnu Abi Syaibah (1/105-106), Hannad dalam Az-Zuhd (1356), Abdullah bin Ahmad dalam Zawaaid Az Zuhd, Al Kharaaiti dalam Makaarim Al Akhlaq (290), Ibnu Hibban dalam Raudhah Al’Uqala’ (hal 57), Abu Nu’aim dalam Al Hilyah (1/34), dan Al Baihaqi dalam Asy Syu’ab (7337). Atsar ini shahih.
[7] Riwayat Ibnu Jarir dalam Tafsimya (29/95), Abu Syaikh dalam Al ‘Azhamah (73), dan Al Baihaqi dalam AsySyu’ab (717) dari jalan-jalan periwayatan yang saling menguatkan.
[8] Riwayat Ibnu Jarir dalam tafsirnya (29/94). Atsar ini shahih karena ada atsar sebelumnya.
[9] Riwayat Abu Nu’aim dalam Hilyah (4/276) dengan sanad yang shahih, dan Muhammad bin Hasan Al Balkhi di-tsiqah-kan olah Ibnu Sayyar, sebagaimana disebutkan dalam Ats Tsiqaat karya Ibnu Hiban (9/81)
[10] Riwayat Ibnu Abid Dunya dalam Al Wara’ (49) dan Abu Nu’aim dalam Al Hilyah (4/78) dengan sanad yang shahih.
[11] HR Ahmad (4/185), Bukhari dalam Tarikh Al Kabir, Fasawi dalam Al Ma’rifah dan At Tarikh (1/340), Ath Thabrani dalam Al Kabir, Abu Nu’aim dalam Al Hilyah (2/15) dan (5/219), dan Al Baihaqi dalam Asy Syu’ab (751) dengan sanad yang bagus. Lihat: Silsilah As Shahihah Al Albani (446). Ibnul Mubarak juga meriwayatkan hadith ini dalam Az Zuhd (34), Ahmad (4/185), Bukhari dalam Tarikh Al Kabir (1/14), Ath Thabrani (19/249) dengan sanad yang mauquf (terhenti) pada sahabat Muhammad bin Abi ‘Umairah yang dishahihkan oleh Al Albani dalam kitab Silsilah Shahihah (1/bagian 2 hal 808). Beliau berkata: “Sanad-nya dihukumi marfu’ (sampai kepada Nabi).

No comments:

Post a Comment