بسم الله الرحمن الرحيم,
الحمد لله رب العالمين و صلى الله و سلم و بارك على نبينا محمد و آله و صحبه أجمعين,
أما بعد:
Riba’ Adalah Syubhat Zaman Kini فَإِن تَوَلَّوْاْ فَإِنَّ اللّهَ عَلِيمٌ بِالْمُفْسِدِينَ
Kemudian jika mereka berpaling (dari kebenaran), maka sesunguhnya Allah Maha Mengetahui orang-orang yang berbuat Kerusakan [Al-'Imran (3) : 63]
Marilah kita sama-sama memperhatikan serta memahamkan umat islam permasalahan kepada terjebaknya umat Islam masakini dalam kancah syubhat Riba’ yang hakikatnya menjadi suatu perkara yang paling kritikal untuk penyelesaian .Kita lihat pembahasan riba dengan seluk-beluknya. Permasalahan ini mungkin terasa agak berat kerana memerlukan perhatian yang lebih Pada beberapa edisi sebelum telah dibahas syarat-syarat jual beli yg sesuai dgn tuntunan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dari situ diketahui beberapa sistem jual beli yg dilarang dlm Islam.
Riba dan Yahudi dalam Tinjauan Sejarah
Sejak dahulu, Allah Subhanahuwata’ala telah mengharamkan riba. Keharamannya adalah abadi dan tidak boleh diubah sampai Hari Kiamat. Bahkan hukum ini telah ditegaskan dalam syariat Nabi Musa as, Isa as, sampai pada masa Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Tentang hal tersebut, Al Quran telah mengkabarkan tentang tingkah laku kaum Yahudi yang dihukum Allah Subhanahuwata’ala akibat tindakan kejam dan amoral mereka, termasuk di dalamnya perbuatan memakan harta riba. Firman Allah Subhanahuwata’ala:
فَبِظُلْمٍ مِنَ الَّذِينَ هَادُوا حَرَّمْنَا عَلَيْهِمْ طَيِّبَاتٍ أُحِلَّتْ لَهُمْ وَبِصَدِّهِمْ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ كَثِيرًا
وَأَخْذِهِمُ الرِّبَا وَقَدْ نُهُوا عَنْهُ وَأَكْلِهِمْ أَمْوَالَ النَّاسِ بِالْبَاطِلِ وَأَعْتَدْنَا لِلْكَافِرِينَ مِنْهُمْ عَذَابًا أَلِيمًا
“….disebabkan oleh kezaliman orang-orang Yahudi, maka Kami telah haramkan atas mereka (memakan makanan) yang baik-baik (yang dahulunya) telah dihalalkan bagi mereka; dan (juga) kerana mereka banyak menghalangi (manusia) dari jalan Allah; serta disebabkan mereka memakan riba. Padahal sesungguhnya mereka telah dilarang memakannya, dan mereka memakan harta dengan jalan yang batil (seperti memakan wang sogok, merampas harta orang yang lemah. Kemudian) Kami telah menyediakan bagi orang-orang kafir di antara mereka itu siksa yang pedih” (QS An Nisaa’ : 160-161).
Dalam sejarahnya, orang Yahudi adalah kaum yang sejak dahulu berusaha dengan segala cara menghalangi manusia untuk tidak melaksanakan syariat Allah Subhanahuwata’ala. Mereka membunuh para nabi, berusaha mengubah bentuk dan isi Taurat dan Injil, serta menghalalkan apa saja yang telah diharamkan Allah Subhanahuwata’ala, misalnya menghalalkan hubungan seksual antara anak dengan ayah, membolehkan adanya praktek sihir, menghalalkan riba sehingga terkenallah dari dahulu sampai sekarang bahawa antara Yahudi dengan perbuatan riba adalah susah dipisahkan. Tentang eratnya antara riba dengan gerak kehidupan kaum Yahudi, kita dapat mengetahuinya di dalam kitab suci mereka:
Definisi Riba
Secara bahasa riba bererti bertambah tumbuh tinggi dan naik. Adapun menurut istilah syariat para fuqaha sangat beragam dlm mendefinisikannya. Sementara definisi yang tepat haruslah bersifat jami’ mani’ yaitu mengumpulkan hal-hal yang termasuk di dalam dan mengeluarkan hal-hal yang tidak termasuk darinya.
Definisi paling ringkas dan bagus adalah yang diberikan oleh Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullahu dlm Syarah Bulughul Maram bahwa makna riba adalah:
“Penambahan pada dua perkara yang diharamkan dalam syariat ada tafadhul antara kedua dengan ganti dan ada ta`khir dalam menerima sesuatu yg disyaratkan qabdh .”
Definisi di atas mencakup riba fadhl dan riba nasi`ah. Permasalahan ini insya Allah akan dijelaskan nanti.
Faedah penting: Setiap jual beli yg diharamkan termasuk dlm kategori riba.
Dengan cara seperti ini dapat diuraikan makna hadith Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu:
الرِّبَا ثَلاَثَةٌ وَسَبْعُوْنَ بَابًا
“Riba itu ada 73 pintu.”
Bila tiap sistem jual beli yang terlarang masuk dalam kategori riba maka akan dengan mudah menghitung hingga bilangan tersebut. Namun bila riba itu hanya ditafsirkan sebagai sistem jual beli yang dinashkan sebagai riba atau kerana ada unsur penambahan pada maka akan sulit mencapai bilangan di atas. Wallahu a’lam.
Mazhab ini dihikayatkan dari sekelompok ulama oleh Al-Imam Muhammad bin Nashr Al-Marwazi rahimahullahu dlm kitab As-Sunnah . Lalu beliau berkata : “Menurut mazhab ini firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
وَأَحَلَّ اللهُ الْبَيْعَ
“Dan Allah menghalalkan jual beli.”
memiliki makna umum yg mencakup semua sistem jual beli yang tidak disebut riba. Dan tiap sistem jual beli yg diharamkan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam masuk dalam firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
وَحَرَّمَ الرِّبَا
“Dan Allah mengharamkan riba.”
Juga dihikayatkan oleh As-Subuki dlm Takmilah Al-Majmu’ bahwa mazhab ini disandarkan kepada ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha dan ‘Umar bin Al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu.
Hal ini juga dihuraikan oleh Ibnu Hajar Al-Imam Ash-Shan’ani Al-Imam Asy-Syaukani dan sejumlah ulama lainnya. Mazhab ini shahih dengan dalil-dalil sebagai berikut:
1. Atsar Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu. Beliau berkata:
لاَ يَصْلُحُ صَفْقَتَانِ فِي صَفْقَةٍ، إِنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَعَنَ آكِلَ الرِّبَا وَمُوْكِلَهُ وَشَاهِدَيْهِ وَكَاتِبَهُ
Juga dihikayatkan oleh As-Subuki dlm Takmilah Al-Majmu’ bahwa mazhab ini disandarkan kepada ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha dan ‘Umar bin Al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu.
Hal ini juga dihuraikan oleh Ibnu Hajar Al-Imam Ash-Shan’ani Al-Imam Asy-Syaukani dan sejumlah ulama lainnya. Mazhab ini shahih dengan dalil-dalil sebagai berikut:
1. Atsar Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu. Beliau berkata:
لاَ يَصْلُحُ صَفْقَتَانِ فِي صَفْقَةٍ، إِنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَعَنَ آكِلَ الرِّبَا وَمُوْكِلَهُ وَشَاهِدَيْهِ وَكَاتِبَهُ
“Tidak boleh ada dua akad dlm satu akad jual beli. Sesungguh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat pemakan riba yg memberi makan orang lain dengan riba dua saksi dan pencatatnya.” {dengan sanad hasan}
Al-Marwazi dalam Sunnah- menyatakan: “Pada ucapan Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu ini ada dalil yang menunjukkan bahwa tiap jual beli yang dilarang adalah riba.”
2. Hadith Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
السَّلَفُ فِي حَبْلِ الْحَبَلَةِ رِبًا
“Salaf pada hablul habalah adalah riba.”
Al-Imam As-Sindi dalam Hasyiyatun Nasa‘i menjelaskan: “Sistem salaf dalam hablul habalah adalah sang pembeli menyerahkan wang kepada seseorang yang mempunyai unta bunting. Sang pembeli berkata: ‘Bila unta ini melahirkan kemudian yang ada di dlm perut telah melahirkan mk aku beli anak darimu dgn harga ini.’ Muamalah seperti ini diserupakan dgn riba sebab hukum haram seperti riba dipandang dari sisi bahwa ini adalah menjual sesuatu yg tidak dimiliki oleh si penjual dan dia tdk mampu utk menyerahkan barang tersebut. Sehingga ada unsur gharar padanya.”
Hukum Riba
Riba dengan segala bentuk adalah haram dan termasuk dosa besar dengan dasar Al-Qur`an As-Sunnah dan ijma’ ulama.
Dalil dari Al-Qur`an di antara adalah:
وَأَحَلَّ اللهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا
“Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.”
Juga dalam firman-Nya:
يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوا اتَّقُوا اللهَ وَذَرُوا مَا بَقِيَ مِنَ الرِّبَا إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِيْنَ. فَإِنْ لَمْ تَفْعَلُوا فَأْذَنُوا بِحَرْبٍ مِنَ اللهِ وَرَسُوْلِهِ
“Hai orang-orang yang beriman bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba jika kamu orang-orang yang beriman. maka jika kamu tidak mengerjakan maka ketahuilah bahawa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu.”
Dalil dari As-Sunnah di antaranya:
a. Hadith Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu:
اجْتَنِبُوا السَّبْعَ الْمُوْبِيْقَاتِ -وَمِنْهَا- أَكْلَ الرِّبَا
“Jauhilah tujuh perkara yg menghancurkan –di antaranya– memakan riba.”
b. Hadith Abu Juhaifah radhiyallahu ‘anhu riwayat Al-Bukhari:
لَعَنَ اللهُ آكِلَ الرِّبَا
“Semoga Allah melaknat pemakan riba.”
Dalam hadith Jabir radhiyallahu ‘anhu yang diriwayatkan Al-Imam Muslim yg dilaknat adalah pemakan riba pemberi riba penulis dan dua saksi lalu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyatakan:
Al-Marwazi dalam Sunnah- menyatakan: “Pada ucapan Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu ini ada dalil yang menunjukkan bahwa tiap jual beli yang dilarang adalah riba.”
2. Hadith Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
السَّلَفُ فِي حَبْلِ الْحَبَلَةِ رِبًا
“Salaf pada hablul habalah adalah riba.”
Al-Imam As-Sindi dalam Hasyiyatun Nasa‘i menjelaskan: “Sistem salaf dalam hablul habalah adalah sang pembeli menyerahkan wang kepada seseorang yang mempunyai unta bunting. Sang pembeli berkata: ‘Bila unta ini melahirkan kemudian yang ada di dlm perut telah melahirkan mk aku beli anak darimu dgn harga ini.’ Muamalah seperti ini diserupakan dgn riba sebab hukum haram seperti riba dipandang dari sisi bahwa ini adalah menjual sesuatu yg tidak dimiliki oleh si penjual dan dia tdk mampu utk menyerahkan barang tersebut. Sehingga ada unsur gharar padanya.”
Hukum Riba
Riba dengan segala bentuk adalah haram dan termasuk dosa besar dengan dasar Al-Qur`an As-Sunnah dan ijma’ ulama.
Dalil dari Al-Qur`an di antara adalah:
وَأَحَلَّ اللهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا
“Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.”
Juga dalam firman-Nya:
يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوا اتَّقُوا اللهَ وَذَرُوا مَا بَقِيَ مِنَ الرِّبَا إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِيْنَ. فَإِنْ لَمْ تَفْعَلُوا فَأْذَنُوا بِحَرْبٍ مِنَ اللهِ وَرَسُوْلِهِ
“Hai orang-orang yang beriman bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba jika kamu orang-orang yang beriman. maka jika kamu tidak mengerjakan maka ketahuilah bahawa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu.”
Dalil dari As-Sunnah di antaranya:
a. Hadith Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu:
اجْتَنِبُوا السَّبْعَ الْمُوْبِيْقَاتِ -وَمِنْهَا- أَكْلَ الرِّبَا
“Jauhilah tujuh perkara yg menghancurkan –di antaranya– memakan riba.”
b. Hadith Abu Juhaifah radhiyallahu ‘anhu riwayat Al-Bukhari:
لَعَنَ اللهُ آكِلَ الرِّبَا
“Semoga Allah melaknat pemakan riba.”
Dalam hadith Jabir radhiyallahu ‘anhu yang diriwayatkan Al-Imam Muslim yg dilaknat adalah pemakan riba pemberi riba penulis dan dua saksi lalu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyatakan:
هُمْ سَوَاءٌ
“Mereka itu sama.”
Para ulama sepakat bahawa riba adalah haram dan termasuk dosa besar. Keadaan seperti yang digambarkan oleh Ibnu Taimiyah rahimahullahu sebagai berikut:
Para ulama sepakat bahawa riba adalah haram dan termasuk dosa besar. Keadaan seperti yang digambarkan oleh Ibnu Taimiyah rahimahullahu sebagai berikut:
“Tidak ada suatu ancaman hukuman atas dosa besar selain syirik yang disebut dalam Al-Qur`an yg lebih dahsyat daripada riba.”
Kesepakatan ini dinukil oleh Al-Mawardi rahimahullahu dan An-Nawawi rahimahullahu dalam Al-Majmu’ .
Faedah: Para ulama sepakat bahawa riba adalah haram di negara Islam secara mutlak antara muslim dgn muslim muslim dgn kafir zimmi muslim dgn kafir harbi.
Mereka berbeza pendapat tentang riba yang terjadi di negeri kafir antara muslim dengan kafir. Pendapat yg rajih tanpa ada keraguan lagi adalah pendapat jumhur yang menyatakan keharaman secara mutlak dgn keumuman dalil yg tersebut di atas. Yang menyelisihi adalah Abu Hanifah dan dalil yang dipakai adalah lemah. Wallahu a’lam.
Para ulama juga berbeza pendapat tentang riba yang terjadi antara orang kafir dengan orang kafir lainnya. Pendapat yang rajih adalah bahawa hal tersebut juga diharamkan atas mereka sebab orang-orang kafir juga dipanggil utk melaksanakan hukum-hukum syariat Islam sebagaimana yang dirajihkan oleh jumhur ulama. Wallahul muwaffiq.
Perkara Yang Terkait Dengan Hukum Riba
Dari Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
الذَّهَبُ بِالذَّهَبِ وَالفِضَّةُ بِالْفِضَّةِ وَالْبُرُّ بِالْبُرِّ وَالشَّعِيْرُ بِالشَّعِيْرِ وَالتَّمْرُ بِالتَّمْرِ وَالْمِلْحُ بِالْمِلْحِ، مِثْلاً بِمِثْلٍ، يَدًا بِيَدٍ، فَمَنْ زَادَ أَوِ اسْتَزَادَ فَقَدْ أَرْبَى، اْلآخِذُ وِالْمُعْطِي فِيْهِ سَوَاءٌ
“Emas dgn emas perak dengan perak , biji dengan biji, tepung dengan tepung kurma dengan kurma dan garam dengan garam harus sama serah terima di tempat . Barangsiapa menambah atau minta tambah maka dia terjatuh dalam riba yang mengambil dan yang memberi dalam hal ini adalah sama.”
Demikian pula hadith ‘Umar radhiyallahu ‘anhu yang di sepakati Bukhari dan Muslim dan hadith ‘Ubadah bin Ash-Shamit dalam riwayat Muslim hanya menyebutkan 6 jenis perkara yang terkait hukum riba yaitu:
1. Emas
2. Perak
3. biji
4. tepung
5. Kurma
6. Garam
Para ulama berbeza pendapat apakah barang yang terkena riba hanya terbatas pada enam jenis di atas ataukah barang-barang lain boleh diqiyaskan dengannya?
Untuk mengetahui lebih jelas masalah ini perlu diklasifikasikan pembahasan para ulama kepada dua bahagian:
Pertama: kurma garam ,biji dan tepung
Para ulama berbeza pendapat sebagai berikut:
1. Pendapat Zhahiriyyah Qatadah Thawus ‘Utsman Al-Buthi dan dihikayatkan dari Masruq dan Asy-Syafi’i juga dihikayatkan oleh An-Nawawi dari Syi’ah dan Al-Kasani. Ini adalah pendapat Ibnu ‘Aqil Al-Hambali dikuatkan oleh Ash-Shan’ani dan beliau sandarkan kepada sejumlah ulama peneliti. Dan ini adalah zahir pembahasan Asy-Syaukani didalam Wablul Ghamam dan As-Sail serta pendapat ini yang dipilih oleh Asy-Syaikh Muqbil rahimahullahu Syaikhuna Yahya Al-Hajuri Syaikhuna Abdurrahman Al-’Adani dan para masyayikh Yaman lainnya; bahawa riba hanya terjadi pada enam jenis perkara ini dan tidak dapat diqiyaskan dengan yg lainnya.
2. Pendapat jumhur ulama bahawa perkara-perkara lain dapat diqiyaskan dengan enam perkaradi atas bila ‘illat sama.
Kemudian mereka berbeza pendapat mengenai batasan ‘illat- sebagai berikut:
a. An-Nakha’i Az-Zuhri Ats-Tsauri Ishaq bin Rahawaih Al-Hanafiyyah dan pendapat yang masyhur di mazhab Hanabilah bahawa riba itu berlaku pada barang yang ditakar dan atau ditimbang baik itu sesuatu yang dimakan seperti biji-bijian gula lemak ataupun tidak dimakan seperti besi kuningan tembaga platina dan sebagainya. Adapun segala sesuatu yang tdk ditimbang atau ditakar maka tidak berlaku hukum riba pada seperti buah-buahan kerana ia diperjual belikan dengan sistem bijian.
Sehingga menurut mereka tidak boleh jual beli besi dengan besi secara tafadhul sebab besi termasuk barang yang ditimbang. Menurut mereka boleh jual beli 1 pena dengan 2 pena sebab pena tidak termasuk barang yg ditimbang atau ditakar. Mereka berdalil dgn lafaz yg tersebut dalam sebagian riwayat:
إِلاَّ وَزْنًا بِوَزْنٍ.. إِلاَّ كَيْلاً بِكَيْلٍ
“Kecuali timbangan dengan timbangan kecuali takaran dengan takaran.”
b. Pendapat terbaru Asy-Syafi’i juga disandarkan oleh An-Nawawi kepada Ahmad bin Hambal Ibnul Mundzir dan yang lain bahawa riba itu berlaku pada semua yang dimakan dan yang diminum baik itu yang ditimbang/ditakar mahupun tidak. Menurut mereka tidak boleh menjual 1 jeruk dgn 2 jeruk 1 kg daging dgn 15 kg daging. Semua itu termasuk barang yg dimakan. Juga tidak boleh menjual satu gelas jus jeruk dgn dua gelas jus jeruk sebab itu termasuk barang yang diminum.
c. Pendapat Malik bin Anas rahimahullahu dan dirajihkan oleh Ibnul Qayyim rahimahullahu bahawa riba berlaku pada makanan pokok yang dapat disimpan.
d. Pendapat Az-Zuhri dan sejumlah ulama bahawa riba berlaku pada barang-barang yang warna dan rasa sama degan kurma garam burr dan sya’ir.
e. Pendapat Rabi’ah bahawa riba berlaku pada barang-barang yang dizakati.
f. Pendapat Sa’id bin Al-Musayyib Asy-Syafi’i dlm pendapat lama satu riwayat dari Ahmad dan yg dipilih oleh Ibnu Qudamah Ibnu Taimiyyah Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin Al-Lajnah Ad-Da`imah yg diketuai Asy-Syaikh Abdul ‘Aziz bin Abdullah bin Baz wakil Asy-Syaikh Abdul ‘Aziz Alu Syaikh anggota: Asy-Syaikh Shalih Fauzan Asy-Syaikh Bakr Abu Zaid mereka berpendapat bahwa riba berlaku pada tiap barang yg dimakan dan diminum yang ditakar atau ditimbang.
Sehingga segala sesuatu yang tidak ditakar atau ditimbang tidak berlaku hukum riba padanya. Begitu pula segala sesuatu yang dimakan dan diminum namun tidak ditimbang atau ditakar maka tidak berlaku hukum riba padanya.
Yang rajih –wallahu a’lam– adal ahpendapat Azh-Zhahiriyyah dan yang sefaham dengan mereka yaitu bahawa tidak ada qiyas dalam hal ini dengan argumentasi sebagai berikut:
1. Hadith-hadith yang tersebut dalam masalah ini yg menyebutkan hanya enam jenis barang saja.
2. Kembali kepada hukum asal. Hukum asal jual beli adalah halal kecuali ada dalil yang mengharamkannya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَأَحَلَّ اللهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا
“Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.”
Sementara yg dikecualikan dalam hadith hanya enam barang saja.
3. ‘Illat yg disebutkan oleh jumhur tidak disebutkan secara nash dalam sebuah dalil. ‘Illat-’illat tersebut hanyalah hasil istinbath melalui cara ijtihad. Oleh sebab itulah mereka sendiri berbedz pendapat dalam menentukan batasan-batasannya.
وَلَوْ كَانَ مِنْ عِنْدِ غَيْرِ اللهِ لَوَجَدُوا فِيْهِ اخْتِلاَفًا كَثِيْرًا
“Kalau kira bukan dari sisi Allah tentulah mereka mendapati pertentangan yg banyak di dalamnya.”
Untuk itulah kita tetap berpegang dan merujuk kepada zahir hadith. Wallahul muwaffiq.
Adapun mereka yg beralasan dengan lafaz كَيْلاً بِكَيْلٍ dan yang tersebut dalam sebahagian riwayat maka jawapan adalah bahawa hadith tersebut dibawa pada pengertian yg ditimbang adalah emas dan perak bukan barang yang lain dalam rangka mengompromikan dalil-dalil yang ada.
Atau dengan bahasa lain yang dimaksud dengan lafaz-lafaz di atas adalah kesamaan pada sisi timbangan pada barang-barang yang terkena hukum riba yg tersebut dalam hadith-hadith lain. Wallahu a’lam.
Adapun pengertian sha’ atau takaran atau hitungan pada sebahagian riwayat maka dijawab oleh Ash-Shan’ani dan Asy-Syaukani yang kesimpulan adalah bahawa penyebutan hal-hal di atas hanyalah untuk menunjukkan kesamaan dari sisi takaran atau timbangan pada barang-barang yang terkena hukum riba yang disebut dalam hadith-hadith lain. Wallahu a’lam.
Adapun masalah muzabanah yang dijadikan dalil oleh jumhur maka jawapan adal ah sebagai berikut:
1. Asy-Syaikh Muqbil rahimahullahu ditanya tentang masalah ini beliau menjawab: “Tidak masalah kalau anggur termasuk barang yang terkena riba.”
2. Jawaban Ibnu Rusyd rahimahullah: “Muzabanah masuk dalam bab riba dari satu sisi dan masuk dlm bab gharar dari sisi yg lain. Pada barang-barang yg terkena riba mk masuk pada bab riba dan gharar sekaligus. Namun pada barang-barang yg tdk terkena riba mk dia masuk pada sisi gharar saja. Wallahul musta’an.”
Kedua: Emas dan perak
Para ulama berbeda pendapat tentang ‘illat emas dan perak dimasukkan sebagai barang riba.
1. Pendapat Azh-Zhahiriyyah dan yg sepaham dgn mereka berpendapat bahwa perkara adl ta’abuddi tauqifi yakni demikianlah yg disebut dlm hadits ‘illat- adl bahwa dia itu emas dan perak.
Atas dasar ini mk riba berlaku pada emas dan perak secara mutlak baik itu dijadikan sebagai alat bayar utk barang lain maupun tidak. Pendapat ini dipegangi oleh Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin rahimahullahu dalam sebahagian karyanya.
2. Pendapat Al-Hanafiyah dan yg masyhur dari mazhab Hanabilah bahwa ‘illat- adalah kerana emas dan perak termasuk barang yang ditimbang. Sehingga tiap barang yg ditimbang seperti kuningan platina dan yg semisal termasuk barang yg terkena riba yaitu diqiyaskan dgn emas dan perak.
Namun pendapat ini terbantah dgn kenyataan ada ijma’ ulama yg membolehkan ada sistem salam2 pada barang-barang yg ditimbang. Seandai tiap barang yg ditimbang terkena riba niscaya tdk diperbolehkan sistem salam padanya.
3. Pendapat Malik Asy-Syafi’i dan satu riwayat dari Ahmad bahwa ‘illat- adl tsamaniyyah utk barang-barang lainnya. Namun menurut mereka ‘illat ini khusus pada emas dan perak saja tdk masuk pada barang yg lainnya.
Yang rajih wallahu a’lam adl pendapat pertama dan tdk bertentangan dgn pendapat ketiga. Sebab yg ketiga termasuk pada pendapat pertama wallahu a’lam. Dalil adl hadits Fudhalah bin Ubaid radhiyallahu ‘anhu tentang jual beli kalung emas. Wallahu a’lam.
Mata Wang Kertas
Para ulama berbeza pendapat dlm masalah ini: apakah mata wang kertas sekarang yg dijadikan alat bayar resmi terkena riba fadhl dan riba nasi`ah?
Pendapat yg rajih insya Allah adalah bahawa mata wang kertas adalah sesuatu yg berdiri sendiri sebagai naqd seperti emas dan perak. Sehingga mata wang kertas itu berjenis-jenis sesuai dgn perbezaan jenis pihak yang mengeluarkannya.
Ini adalah pendapat Malik Asy-Syafi’i satu riwayat dari Ahmad dan yg dipilih oleh Ibnu Taimiyyah Ibnul Qayyim majoriti Ha`iah Kibarul Ulama. Dan ini yg kebanyakan dipilih oleh seminar-seminar fiqih Dunia semisal Rabithah ‘Alam Islami dikuatkan oleh Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin Asy-Syaikh Muqbil bin Hadi.
Dan inilah fatwa ulama kontemporeri.
Mereka mengatakan bahawa mata wang kertas disamakan dengan emas dan perak kerana hampir mirip dengan ‘illat tsamaniyyah yang ada pada emas dan perak.
Mata wang kertas sekarang berfungsi sebagai alat pembayaran untuk barang-barang lain sebagai harta benda transaksi jual beli pembayaran hutang piutang dan perkara-perkara yang dengan dasar itu riba diharamkan pada emas dan perak.
Atas dasar pendapat di atas maka ada beberapa hukum syar’i yg perlu diperhatikan berkaitan dgn masalah ini. Disebutkan dlm Fatawa Al-Lajnah Ad-Da`imah diketuai Asy-Syaikh Abdul ‘Aziz bin Abdullah bin Baz anggota Asy-Syaikh Abdurrazaq ‘Afifi Asy-Syaikh Abdullah Al-Ghudayyan Asy-Syaikh Abdullah bin Qu’ud sebagai berikut:
1. Terjadi dua jenis riba pada mata wang kertas sebagaimana yang terjadi pada emas dan perak.
2. Tidak boleh menjual satu jenis mata wang dengan jenis yang sama atau dengan jenis mata wang yang lain secara nasi`ah secara mutlak. Contoh tidak boleh menjual 1 dolar dengan 5 riyal Saudi secara nasi`ah .
3. Tidak boleh menjual satu jenis mata wang dengan jenis yang sama secara fadhl baik secara tempo mahupun serah terima di tempat. Contoh tidak boleh menjual Rp. 1000 dgn Rp. 1.100.
4. Dibolehkan menjual satu jenis mata wang dengan jenis mata wang yang berbeza secara mutlak dgn syarat serah terima di tempat. Contohnya menjual 1 dolar dgn Rp. 10.000.
5. Wajib mengeluarkan zakat bila mencapai nisab dan satu haul. Nisab adalah nisab perak.
6. Boleh dijadikan modal dalam syirkah atau sistem salam.
Kesepakatan ini dinukil oleh Al-Mawardi rahimahullahu dan An-Nawawi rahimahullahu dalam Al-Majmu’ .
Faedah: Para ulama sepakat bahawa riba adalah haram di negara Islam secara mutlak antara muslim dgn muslim muslim dgn kafir zimmi muslim dgn kafir harbi.
Mereka berbeza pendapat tentang riba yang terjadi di negeri kafir antara muslim dengan kafir. Pendapat yg rajih tanpa ada keraguan lagi adalah pendapat jumhur yang menyatakan keharaman secara mutlak dgn keumuman dalil yg tersebut di atas. Yang menyelisihi adalah Abu Hanifah dan dalil yang dipakai adalah lemah. Wallahu a’lam.
Para ulama juga berbeza pendapat tentang riba yang terjadi antara orang kafir dengan orang kafir lainnya. Pendapat yang rajih adalah bahawa hal tersebut juga diharamkan atas mereka sebab orang-orang kafir juga dipanggil utk melaksanakan hukum-hukum syariat Islam sebagaimana yang dirajihkan oleh jumhur ulama. Wallahul muwaffiq.
Perkara Yang Terkait Dengan Hukum Riba
Dari Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
الذَّهَبُ بِالذَّهَبِ وَالفِضَّةُ بِالْفِضَّةِ وَالْبُرُّ بِالْبُرِّ وَالشَّعِيْرُ بِالشَّعِيْرِ وَالتَّمْرُ بِالتَّمْرِ وَالْمِلْحُ بِالْمِلْحِ، مِثْلاً بِمِثْلٍ، يَدًا بِيَدٍ، فَمَنْ زَادَ أَوِ اسْتَزَادَ فَقَدْ أَرْبَى، اْلآخِذُ وِالْمُعْطِي فِيْهِ سَوَاءٌ
“Emas dgn emas perak dengan perak , biji dengan biji, tepung dengan tepung kurma dengan kurma dan garam dengan garam harus sama serah terima di tempat . Barangsiapa menambah atau minta tambah maka dia terjatuh dalam riba yang mengambil dan yang memberi dalam hal ini adalah sama.”
Demikian pula hadith ‘Umar radhiyallahu ‘anhu yang di sepakati Bukhari dan Muslim dan hadith ‘Ubadah bin Ash-Shamit dalam riwayat Muslim hanya menyebutkan 6 jenis perkara yang terkait hukum riba yaitu:
1. Emas
2. Perak
3. biji
4. tepung
5. Kurma
6. Garam
Para ulama berbeza pendapat apakah barang yang terkena riba hanya terbatas pada enam jenis di atas ataukah barang-barang lain boleh diqiyaskan dengannya?
Untuk mengetahui lebih jelas masalah ini perlu diklasifikasikan pembahasan para ulama kepada dua bahagian:
Pertama: kurma garam ,biji dan tepung
Para ulama berbeza pendapat sebagai berikut:
1. Pendapat Zhahiriyyah Qatadah Thawus ‘Utsman Al-Buthi dan dihikayatkan dari Masruq dan Asy-Syafi’i juga dihikayatkan oleh An-Nawawi dari Syi’ah dan Al-Kasani. Ini adalah pendapat Ibnu ‘Aqil Al-Hambali dikuatkan oleh Ash-Shan’ani dan beliau sandarkan kepada sejumlah ulama peneliti. Dan ini adalah zahir pembahasan Asy-Syaukani didalam Wablul Ghamam dan As-Sail serta pendapat ini yang dipilih oleh Asy-Syaikh Muqbil rahimahullahu Syaikhuna Yahya Al-Hajuri Syaikhuna Abdurrahman Al-’Adani dan para masyayikh Yaman lainnya; bahawa riba hanya terjadi pada enam jenis perkara ini dan tidak dapat diqiyaskan dengan yg lainnya.
2. Pendapat jumhur ulama bahawa perkara-perkara lain dapat diqiyaskan dengan enam perkaradi atas bila ‘illat sama.
Kemudian mereka berbeza pendapat mengenai batasan ‘illat- sebagai berikut:
a. An-Nakha’i Az-Zuhri Ats-Tsauri Ishaq bin Rahawaih Al-Hanafiyyah dan pendapat yang masyhur di mazhab Hanabilah bahawa riba itu berlaku pada barang yang ditakar dan atau ditimbang baik itu sesuatu yang dimakan seperti biji-bijian gula lemak ataupun tidak dimakan seperti besi kuningan tembaga platina dan sebagainya. Adapun segala sesuatu yang tdk ditimbang atau ditakar maka tidak berlaku hukum riba pada seperti buah-buahan kerana ia diperjual belikan dengan sistem bijian.
Sehingga menurut mereka tidak boleh jual beli besi dengan besi secara tafadhul sebab besi termasuk barang yang ditimbang. Menurut mereka boleh jual beli 1 pena dengan 2 pena sebab pena tidak termasuk barang yg ditimbang atau ditakar. Mereka berdalil dgn lafaz yg tersebut dalam sebagian riwayat:
إِلاَّ وَزْنًا بِوَزْنٍ.. إِلاَّ كَيْلاً بِكَيْلٍ
“Kecuali timbangan dengan timbangan kecuali takaran dengan takaran.”
b. Pendapat terbaru Asy-Syafi’i juga disandarkan oleh An-Nawawi kepada Ahmad bin Hambal Ibnul Mundzir dan yang lain bahawa riba itu berlaku pada semua yang dimakan dan yang diminum baik itu yang ditimbang/ditakar mahupun tidak. Menurut mereka tidak boleh menjual 1 jeruk dgn 2 jeruk 1 kg daging dgn 15 kg daging. Semua itu termasuk barang yg dimakan. Juga tidak boleh menjual satu gelas jus jeruk dgn dua gelas jus jeruk sebab itu termasuk barang yang diminum.
c. Pendapat Malik bin Anas rahimahullahu dan dirajihkan oleh Ibnul Qayyim rahimahullahu bahawa riba berlaku pada makanan pokok yang dapat disimpan.
d. Pendapat Az-Zuhri dan sejumlah ulama bahawa riba berlaku pada barang-barang yang warna dan rasa sama degan kurma garam burr dan sya’ir.
e. Pendapat Rabi’ah bahawa riba berlaku pada barang-barang yang dizakati.
f. Pendapat Sa’id bin Al-Musayyib Asy-Syafi’i dlm pendapat lama satu riwayat dari Ahmad dan yg dipilih oleh Ibnu Qudamah Ibnu Taimiyyah Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin Al-Lajnah Ad-Da`imah yg diketuai Asy-Syaikh Abdul ‘Aziz bin Abdullah bin Baz wakil Asy-Syaikh Abdul ‘Aziz Alu Syaikh anggota: Asy-Syaikh Shalih Fauzan Asy-Syaikh Bakr Abu Zaid mereka berpendapat bahwa riba berlaku pada tiap barang yg dimakan dan diminum yang ditakar atau ditimbang.
Sehingga segala sesuatu yang tidak ditakar atau ditimbang tidak berlaku hukum riba padanya. Begitu pula segala sesuatu yang dimakan dan diminum namun tidak ditimbang atau ditakar maka tidak berlaku hukum riba padanya.
Yang rajih –wallahu a’lam– adal ahpendapat Azh-Zhahiriyyah dan yang sefaham dengan mereka yaitu bahawa tidak ada qiyas dalam hal ini dengan argumentasi sebagai berikut:
1. Hadith-hadith yang tersebut dalam masalah ini yg menyebutkan hanya enam jenis barang saja.
2. Kembali kepada hukum asal. Hukum asal jual beli adalah halal kecuali ada dalil yang mengharamkannya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَأَحَلَّ اللهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا
“Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.”
Sementara yg dikecualikan dalam hadith hanya enam barang saja.
3. ‘Illat yg disebutkan oleh jumhur tidak disebutkan secara nash dalam sebuah dalil. ‘Illat-’illat tersebut hanyalah hasil istinbath melalui cara ijtihad. Oleh sebab itulah mereka sendiri berbedz pendapat dalam menentukan batasan-batasannya.
وَلَوْ كَانَ مِنْ عِنْدِ غَيْرِ اللهِ لَوَجَدُوا فِيْهِ اخْتِلاَفًا كَثِيْرًا
“Kalau kira bukan dari sisi Allah tentulah mereka mendapati pertentangan yg banyak di dalamnya.”
Untuk itulah kita tetap berpegang dan merujuk kepada zahir hadith. Wallahul muwaffiq.
Adapun mereka yg beralasan dengan lafaz كَيْلاً بِكَيْلٍ dan yang tersebut dalam sebahagian riwayat maka jawapan adalah bahawa hadith tersebut dibawa pada pengertian yg ditimbang adalah emas dan perak bukan barang yang lain dalam rangka mengompromikan dalil-dalil yang ada.
Atau dengan bahasa lain yang dimaksud dengan lafaz-lafaz di atas adalah kesamaan pada sisi timbangan pada barang-barang yang terkena hukum riba yg tersebut dalam hadith-hadith lain. Wallahu a’lam.
Adapun pengertian sha’ atau takaran atau hitungan pada sebahagian riwayat maka dijawab oleh Ash-Shan’ani dan Asy-Syaukani yang kesimpulan adalah bahawa penyebutan hal-hal di atas hanyalah untuk menunjukkan kesamaan dari sisi takaran atau timbangan pada barang-barang yang terkena hukum riba yang disebut dalam hadith-hadith lain. Wallahu a’lam.
Adapun masalah muzabanah yang dijadikan dalil oleh jumhur maka jawapan adal ah sebagai berikut:
1. Asy-Syaikh Muqbil rahimahullahu ditanya tentang masalah ini beliau menjawab: “Tidak masalah kalau anggur termasuk barang yang terkena riba.”
2. Jawaban Ibnu Rusyd rahimahullah: “Muzabanah masuk dalam bab riba dari satu sisi dan masuk dlm bab gharar dari sisi yg lain. Pada barang-barang yg terkena riba mk masuk pada bab riba dan gharar sekaligus. Namun pada barang-barang yg tdk terkena riba mk dia masuk pada sisi gharar saja. Wallahul musta’an.”
Kedua: Emas dan perak
Para ulama berbeda pendapat tentang ‘illat emas dan perak dimasukkan sebagai barang riba.
1. Pendapat Azh-Zhahiriyyah dan yg sepaham dgn mereka berpendapat bahwa perkara adl ta’abuddi tauqifi yakni demikianlah yg disebut dlm hadits ‘illat- adl bahwa dia itu emas dan perak.
Atas dasar ini mk riba berlaku pada emas dan perak secara mutlak baik itu dijadikan sebagai alat bayar utk barang lain maupun tidak. Pendapat ini dipegangi oleh Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin rahimahullahu dalam sebahagian karyanya.
2. Pendapat Al-Hanafiyah dan yg masyhur dari mazhab Hanabilah bahwa ‘illat- adalah kerana emas dan perak termasuk barang yang ditimbang. Sehingga tiap barang yg ditimbang seperti kuningan platina dan yg semisal termasuk barang yg terkena riba yaitu diqiyaskan dgn emas dan perak.
Namun pendapat ini terbantah dgn kenyataan ada ijma’ ulama yg membolehkan ada sistem salam2 pada barang-barang yg ditimbang. Seandai tiap barang yg ditimbang terkena riba niscaya tdk diperbolehkan sistem salam padanya.
3. Pendapat Malik Asy-Syafi’i dan satu riwayat dari Ahmad bahwa ‘illat- adl tsamaniyyah utk barang-barang lainnya. Namun menurut mereka ‘illat ini khusus pada emas dan perak saja tdk masuk pada barang yg lainnya.
Yang rajih wallahu a’lam adl pendapat pertama dan tdk bertentangan dgn pendapat ketiga. Sebab yg ketiga termasuk pada pendapat pertama wallahu a’lam. Dalil adl hadits Fudhalah bin Ubaid radhiyallahu ‘anhu tentang jual beli kalung emas. Wallahu a’lam.
Mata Wang Kertas
Para ulama berbeza pendapat dlm masalah ini: apakah mata wang kertas sekarang yg dijadikan alat bayar resmi terkena riba fadhl dan riba nasi`ah?
Pendapat yg rajih insya Allah adalah bahawa mata wang kertas adalah sesuatu yg berdiri sendiri sebagai naqd seperti emas dan perak. Sehingga mata wang kertas itu berjenis-jenis sesuai dgn perbezaan jenis pihak yang mengeluarkannya.
Ini adalah pendapat Malik Asy-Syafi’i satu riwayat dari Ahmad dan yg dipilih oleh Ibnu Taimiyyah Ibnul Qayyim majoriti Ha`iah Kibarul Ulama. Dan ini yg kebanyakan dipilih oleh seminar-seminar fiqih Dunia semisal Rabithah ‘Alam Islami dikuatkan oleh Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin Asy-Syaikh Muqbil bin Hadi.
Dan inilah fatwa ulama kontemporeri.
Mereka mengatakan bahawa mata wang kertas disamakan dengan emas dan perak kerana hampir mirip dengan ‘illat tsamaniyyah yang ada pada emas dan perak.
Mata wang kertas sekarang berfungsi sebagai alat pembayaran untuk barang-barang lain sebagai harta benda transaksi jual beli pembayaran hutang piutang dan perkara-perkara yang dengan dasar itu riba diharamkan pada emas dan perak.
Atas dasar pendapat di atas maka ada beberapa hukum syar’i yg perlu diperhatikan berkaitan dgn masalah ini. Disebutkan dlm Fatawa Al-Lajnah Ad-Da`imah diketuai Asy-Syaikh Abdul ‘Aziz bin Abdullah bin Baz anggota Asy-Syaikh Abdurrazaq ‘Afifi Asy-Syaikh Abdullah Al-Ghudayyan Asy-Syaikh Abdullah bin Qu’ud sebagai berikut:
1. Terjadi dua jenis riba pada mata wang kertas sebagaimana yang terjadi pada emas dan perak.
2. Tidak boleh menjual satu jenis mata wang dengan jenis yang sama atau dengan jenis mata wang yang lain secara nasi`ah secara mutlak. Contoh tidak boleh menjual 1 dolar dengan 5 riyal Saudi secara nasi`ah .
3. Tidak boleh menjual satu jenis mata wang dengan jenis yang sama secara fadhl baik secara tempo mahupun serah terima di tempat. Contoh tidak boleh menjual Rp. 1000 dgn Rp. 1.100.
4. Dibolehkan menjual satu jenis mata wang dengan jenis mata wang yang berbeza secara mutlak dgn syarat serah terima di tempat. Contohnya menjual 1 dolar dgn Rp. 10.000.
5. Wajib mengeluarkan zakat bila mencapai nisab dan satu haul. Nisab adalah nisab perak.
6. Boleh dijadikan modal dalam syirkah atau sistem salam.
Riba & Bentuknya Dalam
Konteks Semasa Di Bank Konvensional
Oleh
Ust Hj Zaharuddin Hj Abd Rahman
Umum telah mengetahui bahawa antara perbezaan utama di antara Bank Islam dan Bank Konvensional adalah keterlibatan dengan Riba. Justeru bahagian ini akan mendedahkan secara ringkas dan padat berkenaan Riba dalam konteks semasa.
Antara soalan yang kerap kali kita dengari berkaitan Riba adalah :
- Apakah gambaran jelas bagi riba yang berlaku di dalam pengamalan Bank Konvensional hari ini dan mengapa ianya di haramkan oleh Islam?
- Apakah pula yang di maksudkan bahawa riba adalah suatu penindasan dan menekan? Siapa yang ditindas sebenarnya?
- Bagaimana mungkin sebuah Bank boleh meraih keuntungan tanpa mengenakan Riba?.
Penulisan ini akan cuba mengupas ringkas semua persoalan yang dinyatakan tadi.
1) Apakah gambaran jelas bagi riba yang berlaku di dalam pengamalan Bank Konvensional hari dan mengapa ianya di haramkan oleh Islam?
Sebenarnya bukan hanya Islam yang mengharamkan dan mengutuk amalan Riba, malah ia juga di haramkan di kalangan orang Yahudi. Larangan ini termakstub di dalam kitab mereka sama ada di dalam kitab undang-undang Talmud ataupun Ibrani. (Rujuk bab Exodus ayat-ayat 22:35-37 menyebut : Janganlah engkau mengambil bunga wang atau riba daripadanya...)
Selain itu Riba juga dicela oleh ajaran Kristian sebagaimana yang terdapat di dalam bab Luke 6:34-35. [1]
Riba dalam bentuk hari ini boleh berlaku dalam keadaan berikut :-
1) RIBA DALAM PINJAMAN.
Apabila seorang pelanggan datang ke sebuah Bank Konvensional atau sebarang Institusi Kewangan yang tidak menawarkan produk Islam; lalu ingin membuat pinjaman untuk :-
- a- Membeli kereta ( Car Loan )
- b- Membeli rumah ( Home Loan )
- c- Mendapatkan modal syarikat (Term Loan atau Overdraft )
- d- Membeli mesin dan alatan untuk syarikat ( Hire Purchase Loan )
- e- Membuat pinjaman peribadi ( Personal Loan )
Dalam proses pinjam meminjam di atas, proses pinjam meminjam antara kedua-dua pihak akan dibuat. Sebagai contoh di Bank Konvensional hari ini : atas permintaan si pelanggan B untuk membeli kereta, rumah, mendapatkan modal syarikat atau peribadi, Bank A memberi pinjaman RM 100,000 kepada pelanggan B, bagaimanapun sebagai imbalan balik kepada pihak Bank, mereka akan menetapkan bunga, faedah atau interest sebanyak 8 % (sebagai contoh) daripada jumlah pinjaman itu (RM 8,000) di bawah nama ‘interest' bagi membolehkan pelanggan mendapat wang yang diperlukan. 8 % ITULAH YANG DINAMAKAN RIBA AD-DUYUN JENIS AL-QARD. Sila lihat takrifan jenis riba ini sebelum ini. Semua jenis pulangan seperti ini adalah Riba secara sepakat ulama. [2]
Jumlah faedah yang dicampur dengan jumlah pokok pinjaman akan dibahagikan pula mengikut bulan. Menurut hukum Islam, jumlah RM 8,000 yang diperolehi ini adalah merupakan hasil bank yang haram secara pasti. Pelanggan yang memberi RM 8,000 tadi juga dikira bersubahat dan terlibat secara langsung dengan Riba. Nabi SAW menyebut
الآخذ والمعطي سوآء
Ertinya : " Si pemberi (riba) dan si pengambil Riba adalah sama" ( Riwayat Muslim )
Persoalannya : Mengapa pula ia di haramkan ? apa salahnya peminjam dikenakan Riba (interest) ?
Sebagai jawapan, ia diharamkan kerana :-
- Eksploitasi kesusahan pelanggan : Hasil RM 8,000 itu sebenarnya diterima hasil daripada mengeksploitasikan kesusahan pelanggan. Iaitu, hanya pelanggan yang mempunyai keperluan kewangan mendesak terpaksa pergi ke Bank bagi mendapatkan pinjaman untuk merawati masalah kewangannya, tetapi dalam keadaan kewangannya mendesak, pihak Bank pula mengenakan bayaran tambahan (interest) atas pinjaman yang diberikan. Inilah yang dinamakan riba itu menekan dan menindas, di tambah pula apabila si pelanggan gagal membayar bayaran bulanan yang telah ditetapkan oleh pihak Bank. ketika itu, peminjam dikehendaki membayar penalti pula, penalti ini juga bersifat "compounding" (iaitu akan dimasukkan di dalam modal pinjaman dan akan berganda interestnya), ia adalah Riba yang menekan lagi menindas yang kelihatannya sudah menjadi kebiasaan dalam masyarakat.
Perbezaan di Bank-bank Islam : Adapun, di dalam pengamalan perbankan Islam yang mengenakan sejumlah wang sebagai denda atau bayaran kos rugi (ta'widh atau ‘compensation') yang dihadapi oleh Bank akibat pelanggan tidak membayar hutangnya kepada bank dalam waktu yang ditetapkan, pembaca perlu membezakan bayaran denda yang dikenakan oleh Bank-bank Islam dengan penalti oleh Bank Konvensional.
Denda lambat bayar yang di kenakan oleh Bank Islam adalah berdasarkan proses jual beli secara bayaran ansuran manakala penalti Bank Konvensional adalah hasil dari kontrak pinjaman, maka apabila bayaran ansuran tidak dilangsaikan pada waktunya, ta'widh akan dikenakan. Ta'widh yang dikenakan oleh Bank Islam ini (menurut majoriti ulama sedunia) adalah tidak boleh dimasukkan di dalam pendapatan Bank Islam, malah mestilah di agihkan untuk tujuan kebajikan kepada orang miskin dan faqir sahaja. Inilah yang dilakukan oleh kebanyakkan Bank-bank Islam di Malaysia seperti Asian Finance Bank Berhad, Kuwait Finance House, Ar-Rajhi Bank dan RHB Islamic Bank Berhad.
- Meruntuh Moral dan Akhlak : Faedah (interest) atau Riba yang dikenakan juga akan menyebabkan pudarnya akhlak mulia bantu membantu di dalam masyarakat, ia mengundang sikap orang yang berduit untuk menekan individu atau pihak yang memerlukan bantuan kewangan. Ini bakal menghancurkan sifat tolong menolong di antara manusia. Selain itu, ia bakal melahirkan masyarakat yang marah dan tertekan antara satu sama lain. [3]
- Menyubur Sikap Si Kaya Malas Bekerja & Kurang Dinamik: Ia juga bakal melahirkan orang kaya atau Bank yang malas untuk bekerja keras bagi mencari keuntungan secara jual beli dan mengambil risiko, mereka akan mula berfikir mencari untung secara mudah, iaitu dengan memberi pinjam serta mengenakan interest. Lalu dengan cara ini mereka boleh mendapatkan untung dengan mudah sahaja. Islam tidak menerima konsep untung tanpa bekerja keras, dan Islam juga hanya menerima konsep :
الغرم بالغنم
Ertinya : " Ganjaran keuntungan adalah dengan menghadapi risiko" [4]
Dan juga hadith :
أن الخراج بالضمان
Ertinya : "(Bagi mendapatkan) Keuntungan (hasil pelaburan) mestilah dengan menghadapi risiko (dan jaminan barang yang dijual adalah selamat - bermakna tiada untung tetap dijanjikan)" (Riwayat As-Syafie, Ahmad, Ibn Hibban, Abu Daud : no 3508 ; As-Suyuti & Albani : Hasan)
Menurut Dr Muhammad Az-Zuhayli menjelaskan lagi ertinya dengan katanya "sesungguhnya siapa yang yang menanggung kos dan risiko kerugian, maka merekalah yang layak mendapat manfaat atau keuntungan jika ada". [5]
Justeru sebarang pelaburan dengan jaminan pulangan adalah bertentangan dengan kaedah di atas tadi. Selain itu, sebarang pelaburan yang mempunyai elemen seperti ini adalah sebenarnya pinjaman dengan riba. Jaminan pulangan ini menjadikan ia berteraskan konsep pinjaman wang dengan faedah (interest) yang dijamin. Ia adalah haram.
Lihatlah bagaimana displin Islam dalam memastikan setiap individu menyumbang sesuatu kerja yang baik dan meningkatkan kualiti ekonomi. Dengan wujudnya usaha-usaha sebegini bertambahlah peluang kerja, semakin meriahlah suasana ekonomi dan berkurangan jumlah pengangguran.
Pinjaman Dalam Islam ?
Perlu diketahui bahawa, disiplin Islam dalam perihal pinjam meminjam yang dibenarkan hanyalah pinjaman tanpa sebarang faedah. Sebagaimana di sebutkan dalam kaedah :
كل قرض جرّ نفعاً فهو الربا
Ertinya : "Setiap pinjaman yang membawa kepada sesuatu manfaat buat pemberi pinjam maka ia adalah Riba" [6]
Imam Ibn Quddamah pula berkata :
كل قرض شرط فيه أن يزيده فهو حرام بغير خلاف
Ertinya : "Setiap pinjaman yang disyaratkan padanya untuk diberikan tambahan, maka ia adalah haram tanpa sebarang khilaf" [7]
Justeru, tiada sebarang keuntungan boleh dihasilkan untuk pemberi pinjam dari peminjam dari aktiviti ini. Ini kerana pinjaman adalah satu proses yang dibuat secara sukarela atas dasar bantu membantu. Ia disebut di dalam Islam sebagai Qardh Hasan (pinjaman tanpa sebarang ‘interest' dikenakan kepada si peminjam).
Islam amat menggalakkan pinjaman tanpa faedah ini sebagaimana disebut oleh Baginda SAW :
" Pada malam aku dibawa ke syurga (semasa Israk Mi'raj), aku telah melihat tertulis di dalam pintu Syurga " Setiap sumbangan sedeqah digandakan pahalanya kepada sepuluh kali, dan setiap pinjaman tanpa faedah digandakan sebanyak 18 kali.."( Riwayat Ibn Majah)
Justeru, tiada sebarang keuntungan boleh dihasilkan untuk pemberi pinjam dari peminjam dari aktiviti ini. Ini kerana pinjaman adalah satu proses yang dibuat secara sukarela atas dasar bantu membantu. Ia disebut di dalam Islam sebagai Qardh Hasan (pinjaman tanpa sebarang faedah riba dikenakan kepada si peminjam).
2. RIBA DALAM AKAUN SIMPANAN DAN PELABURAN.
Bagi menjelaskan bentuk kedua bagaimana riba berlaku, contohnya adalah seperti berikut :-
Ia berlaku apabila pelanggan meletakkan wangnya di dalam akaun :-
- Akaun Pelaburan Dengan Pulangan Tetap (Fixed Deposit account).
- Akaun Simpanan Biasa (Ordinary Saving account).
Penjelasannya adalah seperti berikut :-
- Akaun Pelaburan Dengan Pulangan Tetap (Fixed Deposit account).
Dalam akaun jenis pertama ini, Individu A meletakkan wangnya di dalam "conventional fixed deposit account". Menurut kontrak dan perjanjian yang di tandatangani, pihak pengendali/Bank akan mengumpulkan wang individu A tadi bersama dengan wang depositor atau pelabur lain. Kemudian, kumpulan wang itu akan digunakan samada bagi pelaburan wang terus ke dalam mana-mana syarikat yang kukuh bagi mendapatkan pulangan yang baik ataupun digunakan untuk memberikan pinjaman secara riba kepada syarikat-syarikat yang datang kepada Bank untuk tujuan perniagaan mereka, samada perniagaan itu halal mahupun haram.
Sebagai imbalan kepada para pelabur atau penyimpan, pihak bank akan menetapkan kadar faedah tertentu (‘fixed interest' atau ‘fixed return') sebagai contoh 3 % untuk diberikan kepada penyimpan @ pelabur (tambahan ke atas wang modalnya) bagi suatu tempoh selama matang antara 1 - 11 bulan, kadar faedah adalah menurut budibicara pihak pengurusan bank. Pada kebiasaannya Bank telah pun membuat kira-kira bagi menentukan kadar interest yang ingin diberinya.
Ingin ditegaskan di sini bahawa, menurut Islam, kadar 3 % dari "fixed deposit account" tadi adalah Riba ‘Ad-Duyun' dari jenis ‘Al-Qard'. Ini adalah kerana, sebagaimana yang telah ditegaskan sebelum ini, disiplin pelaburan Islam (iaitu Mudarabah atau Musyarakah) tidak boleh menentukan pulangan keuntungan di awal kontrak sama sekali. Hanya nisbah pembahagian keuntungan yang dibenarkan. Seperti 70 : 30 ( Bank : pelanggan).
- Akaun Simpanan Biasa (Ordinary Saving account).
Manakala dalam Akaun Simpanan Konvensional (Ordinary Savings Account) pula. Sekali lagi terdapat Riba secara pasti. Ini kerana bank akan memberikan kadar faedah tetap sekitar 0.1-0.2 %. Dalam keadaan ini, Bank pula dikira meminjam wang dari pelanggan untuk digunakan bagi tujuan pelaburan kecil-kecilan, dan si pelanggan di anggap seolah-olah telah menawarkan pulangan tetap atas pinjaman (simpanan) yang diberikan oleh pelanggan kepada Bank itu, hasilnya; Bank mesti membuat pembayaran tambahan (faedah) menurut kadar yang telah di tetapkan tadi walau dalam keadaan apa sekalipun. Sekiranya Bank mendapat untung yang amat lumayan hasil penggunaan wang simpanan tadi, bank tetap hanya perlu membayar kadar kecil tadi, maka pelanggan pastinya dikira rugi. Sebaliknya, sekiranya bank menghadapi kerugian, Bank tetap perlu membayar kadar interest itu tanpa mengira sama ada ia akan menambah beban kerugiannya atau tidak. Maka, kerugian Bank pasti bertambah dan membebankan.
Justeru, penindasan berlaku dalam kedua-dua bentuk simpanan dan pelaburan konvensional di atas, sama ada kepada bank (apabila rugi tapi perlu membayar faedah Riba) atau pelanggan (apabila untung tapi hanya mendapat nisbah kecil).
Akaun di Perbankan Islam
Dalam pengurusan akaun secara Islam, suasananya adalah berbeza sama sekali, dimana semua pelanggan yang menyimpan wang di Islamic Akaun Islam ini boleh memilih sama ada ingin menggunakan:-
- a) Akaun Simpanan atas asas Wadi'ah (simpanan biasa tanpa menggunakan konsep mudharabah);
Dalam kontrak ini, pihak bank akan memastikan semua jumlah wang simpanan pelanggan adalah sentiasa selamat dan boleh di keluarkan pada bila-bila masa oleh pelanggan. Bagi memanfaatkan dan menanggung kos pengurusan simpanan ini, pihak pengurusan Bank-bank Islam biasanya akan menggunakan wang tersebut untuk tujuan pelaburan yang halal sahaja, tetapi pihak Bank akan menjamin pelanggan boleh mengeluarkan wangnya pada bila-bila masa serta akan menanggung segala kerugian jika berlaku. Sebagai menghargai pelanggan yang menyimpan wang ini sehingga membolehkan pihak Bank menjalankan operasi ekonomi dan perniagaan Islam, maka jika terdapat untung, pihak Bank akan memberikan hibah (hadiah sejumlah wang) kepada penyimpan sebagai tanda penghargaan.
Bagaimanapun jumlah dan kadar pulangan dalam bentuk ‘hibah' atau hadiah adalah terpulang kepada budibicara bank sepenuhnya, malah mungkin tiada sebarang hibah dalam keadaan tertentu. Jika ada pulangan, ia akan berubah-ubah menurut prestasi pernigaan yang dibuat oleh Bank Islam itu. Sekiranya hasil pelaburan menggalakkan, maka kebiasaannya penyimpan akan di beri "hibah" yang agak baik sebagai galakkan dan ucapan terima kasih kepada pelanggannya. Walaubagaimanapun hibah itu sama sekali tidak boleh dijanjikan oleh Bank dan tidak boleh pula dituntut oleh si pelanggan. [8] Oleh kerana itu, jika pelaburan mengalami kerugian, pihak penyimpan mungkin tidak akan diberi sebarang hibah, wang simpanan mereka juga tidak akan berkurangan. Ini lebih adil kerana :-
- Pelanggan berpeluang mendapat hibah dalam keadaan wang simpanannya terjamin/tanpa risiko hasil pelaburan. Jumlah dan kadar hibah adalah sepenuhnya terpulang kepada budibicara bank. Bagaimanapun, biasanya pihak bank akan memberikan kadar hibah yang tinggi sedikit jika keuntungan diperolehi, demi menggalakkan minat pelanggan.
- Bank juga tidak terpaksa membayar apa-apa kepada pelanggan jika tiada keuntungan. Justeru bank tidak teraniaya sama sekali berbanding Bank Konvensional.
- Tiada sebarang Riba terbabit di dalam akaun ini dan semua pelaburan yang dibuat adalah setelah dipastikan memenuhi kehendak Shariah.
- b) Akaun Simpanan atas asas Mudarabah (perkongsian untung)
Satu lagi produk di dalam pengamalan kewangan Islam di Bank-bank Islam adalah akaun pelaburan yang menggunakan konsep ‘Mudharabah'. Ia bermaksud pihak pelanggan ingin menyimpan wangnya sambil membuat pelaburan secara khusus. Nama produk-produk untuk akaun ini seperti " Akaun Pelaburan Umum Mudarabah" atau "Akaun Pelaburan Istimewa Mudarabah" atau " Akaun Semasa Mudarabah".
Menurut konsep ini pelanggan bersedia menerima risiko lebih bagi membuka ruangnya bagi mendapat peratusan keuntungan yang lebih besar sekiranya pihak Bank berjaya melaburkan wang dengan pulangan lumayan. Kadar peratusan akan di tetapkan di peringkat awal seperti 70 % untuk pelanggan dan 30 % bank, 80/20, 60/40 dan sebagainya.
Satu perkara yang juga amat penting dalam akaun Islam ini adalah, deposit yang terkumpul hanya akan digunakan untuk :-
- a) Dilaburkan untuk kegunaan perniagaan bank Islam yang telah dipastikan halal
- b) Dilabur kepada pihak ketiga yang juga dipastikan perniagaannya halal untuk membiayai perniagaan mereka, semua perniagaan ini telah di tapis oleh Majlis Penasihat Shariah dan pengurusan bank. Justeru semua "Shariah-Approved companies" ini telah di pastikan dengan teliti ketepatannya dari sudut Shariah, justeru semua keuntungan yang bakal di perolehi adalah harta yang bersih.
Urusan tapisan dibuat secara terperinci, dan perlaksanaannya dibuat dalam suasana "client-friendly", iaitu dengan perbincangan yang cukup telus atau "transparent" dengan "client".
Ia mungkin akan membuat penilaian dari sudut "asset" mahupun "lialibilities" sesebuah syarikat, tanpa mengira ianya adalah sebuah syarikat yang tersenarai di Bursa Saham atau tidak. Secara umum penapisan "filter" Shariah berikut biasanya digunakan antaranya :-
- i- Industry filtering (membuang syarikat-syarikat yang perniagaan induknya berkaitan produk-produk haram)
- ii- Primary Financial Filters (mengeluarkan syarikat-syarikat yang tahap hutangnya tidak boleh ditoleransi lagi atau mempunyai "impure interest income" berdasarkan panduan Majlis Penasihat Shariah )
Adapun di Bank Konvensional, proses pengendalian akaun simpanan dan pelaburannya adalah amat berbeza, pertamanya ia tidak terikat dengan displin Shariah, akibatnya mereka pasti akan menumpukan pelaburan di dalam syarikat yang boleh memberi pulangan besar tanpa meninjau aspek pematuhan Shariah atau tidak.
Selain itu, pembaca mestilah tidak terkeliru dengan kadar peratusan yang di paparkan oleh sesetengah akauan Islam mudarabah di sesetengah Bank Islam. Ia hanyalah kadar pulangan purata menurut prestasi lepas, ia di gelar "indicavtive Rates" atau "kadar andaian dan ramalan" dan bukannya kadar yang tepat dan dijanjikan oleh pihak bank, ia di paparkan demi mencapai keyakinan pelanggan terhadap prestasi pengurusan dan pelaburan Bank.
Cara kiraannya yang telah dipermudahkan adalah seperti berikut :-
Cara Kiraan :-
Untung Sebenar = Kadar Pulangan (ROR) x Kadar Keuntungan (PSR) = Keuntungan setahun
100
Katakanlah kadar keuntungan bank adalah 3, justeru "indicative" atau andaiannya seperti berikut :-
3 X 70 (pelanggan) = 2.10
100
Maka, jumlah 2.10 % inilah yang akan di paprkan oleh Bank bagi memaparkan prestasi akan datang Bank. Ia hanyalah andaian dan tidak menjadi kewajiban bagi Bank memberikan pulangan dengan kadar di atas.
Perlulah sedari, seseorang yang menyimpan atau melabur wangnya di dalam akaun di bank konvensional pastinya akan mendapat saham keburukan hasil sokongan langsungnya dari wang depositnya itu, sama ada mereka menyedarinya atau tidak.
Sekian
Ust Zaharuddin
No comments:
Post a Comment