اَلسَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ َوبَرَكَاتُهُ
إِنَّ الْحَمْدَ للهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ ، وَنَعُوْذُ باِللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيْئَاِتِ أَعْمَالِلنَا , مَنْ يَهْدِهِ اللهِ فَلاَ مُضِلَّ لَهُ ، وَمَنْ يُضْلِلْ فَلاَ هَادِيَ لَهُ ، وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ الله وَحْدَهُ لاَشَرِيْكَ لَهُ . وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ
أَمَّا بَعْـدُ
by :Zaidi Assalafy
JALAN MENGECAPI KETENANGAN JIWA
Sahabat ku se Islam, sudah menjadi fitrah manusia bahawa mereka menyukai sesuatu yang menyenangkan hati dan mententeramkan jiwa mereka. Oleh kerana itu, kebanyakkan manusia rela mengorbankan waktunya, memeras otaknya, dan memulas tenaganya, atau bahkan kalau perlu mengeluarkan biaya yang tidak kecil jumlahnya demi meraih apa yang disebut sebagai kepuasan dan ketenangan jiwa. Namun, ada suatu fenomena memprihatinkan yang sulit sekali dilepaskan dari upaya ini. Seringkali kita jumpai manusia memakai cara-cara yang dibenci oleh Allah demi mencapai keinginan dan melayan hawa nafsu mereka.
Ada di antara mereka yang terjebak dalam jerat harta. Ada yang terjebak dalam jerat wanita. Ada yang terjebak dalam hiburan yang tidak halal. Ada pula yang terjebak dalam aksi-aksi jenayah. Apabila permasalahan ini kita kaji, ada satu faktor yang boleh disimpulkan sebagai sumber utama munculnya itu semua. Hal itu tidak lain adalah kerana manusia tidak lagi menemukan ketenangan dan kepuasan jiwa dengan berzikir dan mengingati Rabb mereka.
Padahal, Allah ta’ala telah mengingatkan hal ini dalam firmannya,:
الَّذِينَ آمَنُوا وَتَطْمَئِنُّ قُلُوبُهُمْ بِذِكْرِ اللَّهِ أَلَا بِذِكْرِ اللَّهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوبُ
“Orang-orang yang beriman dan hati mereka boleh merasa tenteram dengan mengingati Allah, ketahuilah bahwa hanya dengan mengingat Allah maka hati akan merasa tenteram.” (QS. ar-Ra’d: 28).
Ibnul Qayyim rahimahullah menyebutkan bahawa pendapat terpilih mengenai makna ‘mengingat Allah’ di sini adalah mengingat al-Qur’an. Hal itu disebabkan hati manusia tidak akan boleh merasakan ketenteraman kecuali dengan iman dan keyakinan yang tertanam di dalam hatinya. Sementara iman dan keyakinan tidak boleh diperoleh kecuali dengan menyerap bimbingan al-Qur’an (lihat Tafsir al-Qayyim, hal. 324)
Ibnu Rajab al-Hanbali berkata,
“Zikir merupakan sebuah kelazatan bagi hati orang-orang yang mengerti.”
Demikian juga Malik bin Dinar mengatakan,
“Tidaklah orang-orang yang merasakan kelezatan boleh merasakan sebagaimana kelazatan yang diraih dengan mengingat Allah.” (lihat Jami’ al-’Ulum wa al-Hikam, hal. 562).
Sekarang, yang menjadi pertanyaan kita adalah; mengapa banyak di antara kita yang tidak boleh merasakan kelazatan berzikir sebagaimana yang digambarkan oleh para ulama salaf. Sehingga kita lebih menyukai menonton sepakbola daripada ikut pengajian, atau lebih suka menikmati televisyen daripada merenungkan ayat-ayat-Nya, atau lebih suka berkunjung ke lokasi hiburan daripada memakmurkan rumah-Nya.
Perhatikanlah ucapan Rabi’ bin Anas berikut ini, mungkin kita akan boleh menemukan jawabannya. Rabi’ bin Anas mengatakan sebuah ungkapan dari sebahagian sahabatnya,
“Tanda cinta kepada Allah adalah banyak berzikir/mengingati kepada-Nya, kerana sesungguhnya tidaklah kamu mencintai apa saja kecuali kamu pasti akan banyak-banyak menyebutnya.” (lihat Jami’ al-’Ulum wa al-Hikam, hal. 559).
Ini beertinya, semakin lemah rasa cinta kepada Allah dalam diri seseorang, maka semakin sedikit pula ‘kemampuannya’ untuk mengingati Allah ta’ala. Hal ini secara tidak langsung menggambarkan keadaan batin kita yang begitu memprihatinkan, walaupun keadaan lahiriyahnya tampak baik-baik saja. Aduhai, betapa sedikit orang yang memperhatikannya! Ternyata, inilah yang selama ini hilang dan menipis dalam diri kita; iaitu rasa cinta kepada Allah…
Syeikh as-Sa’di rahimahullah berkata,
“Pokok dan ruh ketauhidan adalah memurnikan rasa cinta untuk Allah semata, dan hal itu merupakan pokok penghambaan dan penyembahan kepada-Nya. Bahkan, itulah hakekat dari ibadah. Tauhid tidak akan sempurna sampai rasa cinta seorang hamba kepada Rabbnya menjadi sempurna, dan kecintaan kepada-Nya harus lebih diutamakan daripada segala sesuatu yang dicintai. Sehingga rasa cintanya kepada Allah mengalahkan rasa cintanya kepada selain-Nya dan menjadi penentu atasnya, yang membuat segala perkara yang dicintainya harus tunduk dan mengikuti kecintaan ini yang dengannya seorang hamba akan bisa menggapai kebahagiaan dan kemenangannya.” (al-Qaul as-Sadid Fi Maqashid at-Tauhid, hal. 95)
Kalau demikian keadaannya, maka penyelesaian untuk boleh menggapai ketenangan jiwa melalui zikir adalah dengan menumbuhkan dan menguatkan rasa cinta kepada Allah. Dan satu-satunya jalan untuk mendapatkannya adalah dengan mengenal Allah melalui keagungan nama-nama dan sifat-sifat-Nya dan memperhatikan kebesaran ayat-ayat-Nya, yang tertera di dalam al-Qur’an ataupun yang berwujud makhluk ciptaan-Nya.
Syeikh Dr. Muhammad bin Khalifah at-Tamimi hafizhahullah berkata,
“Sesungguhnya rasa cinta kepada sesuatu merupakan cabang dari pengenalan terhadapnya. Maka manusia yang paling mengenal Allah adalah orang yang paling cinta kepada-Nya. Dan setiap orang yang mengenal Allah pastilah akan mencintai-Nya. Dan tidak ada jalan untuk menggapai ma’rifat ini kecuali melalui pintu ilmu mengenai nama-nama Allah dan sifat-sifat-Nya. Tidak akan teguh ma’rifat seorang hamba terhadap Allah kecuali dengan berupaya mengenali nama-nama dan sifat-sifat-Nya yang disebutkan di dalam al-Qur’an mahupun as-Sunnah…” (Mu’taqad Ahlis Sunnah wal Jama’ah fi Tauhid al-Asma’ wa as-Shifat, hal. 16)
Hati seorang hamba akan menjadi hidup, diliputi dengan kenikmatan dan ketenteraman apabila hati tersebut adalah hati yang senantiasa mengenal Allah, yang pada akhirnya membuahkan rasa cinta kepada Allah lebih di atas segala-galanya (lihat Mu’taqad Ahlis Sunnah wal Jama’ah fi Tauhid al-Asma’ wa as-Shifat, hal. 21). Di sisi yang lain, kelazatan di akherat yang diperoleh seorang hamba kelak adalah tatkala melihat wajah-Nya. Sementara hal itu tidak akan boleh diperolehnya kecuali setelah merasakan kelazatan paling agung di dunia, iaitu dengan mengenal Allah dan mencintai-Nya, dan inilah yang dimaksud dengan syurga dunia yang akan senantiasa menyejukkan hati hamba-hamba-Nya (lihat ad-Daa’ wa ad-Dawaa’, hal. 261)
Kebanyakkan manusia tertipu oleh dunia dengan segala kesenangan yang ditawarkannya sehingga hal itu melupakan mereka dari mengingat Rabb yang menganugerahkan nikmat kepada mereka. Hal itu bermula, tatkala kecintaan kepada dunia telah meresap ke dalam relung-relung hatinya. Tanpa terasa, kecintaan kepada Allah sedikit demi sedikit luntur dan lenyap. Terlebih lagi ‘didukung’ suasana sekitar yang jauh dari siraman petunjuk al-Qur’an, apatah lagi pengenalan terhadap keagungan nama-nama dan sifat-Nya. Maka semakin jauhlah sosok seorang hamba yang lemah itu dari lingkaran hidayah Rabbnya. Solat terasa hampa, berzikir tinggal gerakan lidah tanpa makna, dan al-Qur’an pun terpesuk berdebu tak tersentuh tangannya. Wahai saudaraku… apakah yang kau cari dalam hidup ini? Kalau engkau mencari kebahagiaan, maka ingatlah bahawa kebahagiaan yang sejati tidak akan pernah didapatkan kecuali bersama-Nya dan dengan senantiasa mengingat-Nya.
Allah ta’ala berfirman :
بَلْ تُؤْثِرُونَ الْحَيَاةَ الدُّنْيَا
وَالْآخِرَةُ خَيْرٌ وَأَبْقَى
“Akan tetapi ternyata kalian lebih mengutamakan kehidupan dunia, sementara akherat itu lebih baik dan lebih kekal.” (QS. al-A’la: 16-17).
Allah juga berfirman mengenai seruan seorang rasul yang sangat menghendaki kebaikan bagi kaumnya :
وَقَالَ الَّذِي آمَنَ يَا قَوْمِ اتَّبِعُونِ أَهْدِكُمْ سَبِيلَ الرَّشَادِيَا قَوْمِ إِنَّمَا هَذِهِ الْحَيَاةُ الدُّنْيَا مَتَاعٌ وَإِنَّ الْآخِرَةَ هِيَ دَارُ الْقَرَارِ
“Wahai kaumku, ikutilah aku niscaya akan kutunjukkan kepada kalian jalan petunjuk. Wahai kaumku, sesungguhnya kehidupan dunia ini hanyalah kesenangan (yang sementara), dan sesungguhnya akherat itulah tempat menetap yang sebenarnya.” (QS. Ghafir: 38-39) (lihat ad-Daa’ wa ad-Dawaa’, hal. 260)
Apabila engkau menangis kerana hilangnya hartamu, atau kerana hilangnya pangkatmu, atau kerana orang yang disayangi pergi meninggalkanmu, maka sekaranglah saatnya engkau menangisi rusaknya hatimu… Jalan pulang senantiasa terbuka luas, marilah lah kita bersama-sama menanam rasa kecintaan yang tidak berbelah bahagi kepada Allah dan Rasulnya supaya kita tidak menjadi manusia yang rugi di akhirat kelak, dunia umapama ladang untuk menuai ,akhirat lah kekal kehidupan yang abadi.
Allahul musta’aan
No comments:
Post a Comment